Banda Aceh (ANTARA News) - Berbeda dari malam-malam awal hingga pertengahan puasa, alunan ayat-ayat Suci Al Quran nyaris tidak terdengar dari alat pengeras suara (mikrofon) di masjid-masjid atau meunasah (mushala) pada malam menjelang berakhirnya Ramadhan di Aceh.

Suasana malam-malam akhir Ramadhan tanpa terdengar lantunan ayat-ayat Suci melalui mikrofon itu bukan pula bermakna berhentinya bertadarus (baca Al Quran), karena sebagian besar pemuda dan remaja hanya bertadarus sendiri-sendiri tanpa alat pengeras suara di masjid atau meunasah gampong (desa).

Terhentinya penggunaan alat pengeras suara di masjid-masjid itu umumnya setelah mereka menamatkan bacaan Al Quran (30 juzz).

Salah satu cara mengetahui di suatu gampong telah menamatkan bacaan Al Quran secara bersama-sama (tadarus) itu yakni diwarnai dengan acara kenduri yang disebut dengan "Tammat Darus" di gampong-gampong di Aceh.

Kenduri "Tammat Darus" di Aceh tampaknya sudah mentradisi sejak puluhan tahun silam, bahkan sesuatu yang sakral khususnya bagi warga muslim pada setiap puasa Ramadhan.

Kenduri atau lazimnya disebut juga buka puasa bersama dengan membawa hidangan di masjid atau di meunasah itu biasanya digelar di atas hitungan 15 hari puasa Ramadhan.

"Kalau ada gampong yang menggelar buka puasa bersama (kenduri Tammat Darus" pada 15 hari puasa, itu juga bisa berarti bahwa setiap malamnya warga menyelesaikan bacaan Al Quran dua juzz," kata Mukhtar, tokoh masyarakat Gampong Lampoh Daya Banda Aceh.

"Selain itu, ada juga warga yang melaksanakan kenduri setelah sepekan menamatkan bacaan Al Quran secara bersama," katanya menambahkan.

Yang jelas, kata Mukhtar, pelaksaan kenduri itu dilakukan atas kesepakatan atau hasil musyawarah warga di masing-masing gampong, termasuk mengenai untuk mengundang warga gampong lainnya berbuka puasa bersama pada "Tammat Darus".

Sebab, tambahnya, sebelum hajatan kenduri dilaksanakan, para pemuka masyarakat dan seluruh warga terutama kepala keluarga di undang untuk bermusyawarah.

"Artinya, musyawarah untuk menentukan tanggal kenduri, berapa biaya dibutuhkan termasuk para tamu yang akan diundang untuk berbuka puasa," katanya menambahkan.

Pelaksanaan kenduri "Tammat Darus" itu, warga di suatu gampong biasanya menyembelih sapi atau kerbau, kemudian dagingnya dimasak bersama-sama secara gotong- royong di meunasah atau masjid.

Pengadaan daging sapi atau kerbau itu melalui patungan antar kepala keluarga, namun berbeda antara orang kaya dan miskin. Untuk orang kaya dikenakan biaya lebih dibanding warga miskin.

Patungan
Patungan untuk pembelian hewan itu berkisar antara Rp50.000 hingga Rp100.000 atau sangat tergantung pada kesepakatan musyawarah warga gampong.

"Bahkan, ada warga kurang mampu tidak dikenakan biaya patungan untuk membeli hewan ternak," kata Jamaluddin, warga lainnya.

Sapi atau kerbau yang disembelih itu, kemudian dagingnya dimasak secara bersama-sama di meunasah dan masjid. Yang terlibat untuk memasak daging sapi di meunasah itu umumnya adalah laki-laki, terutama pemuda.

Daging sapi atau kerbau yang dimasak bersama-sama, seperti di Aceh Besar dan Kota Banda Aceh disebut dengan kari "kuah blang". Sementara pada siang harinya, sebagian kari yang sudah masak dibagikan kepada setiap keluarga.

Sementara itu, masing-masing rumah tangga, juga menyediakan menu-menu lain dan nasi, air minum, kemudian sebagian dibawa ke meunasah atau masjid, lazimnya disebut hidangan.

Selain dihadiri warga, masyarakat di gampong yang berdekatan serta pejabat di kecamatan (muspika) juga menjadi tamu kehormatan berbuka puasa bersama saat kenduri "Tammat Darus".

Jika ruang dalam meunasah atau masjid tidak mampu menampung jumlah peserta buka puasa bersama, maka pihak panitia menyediakan tempat di halaman dengan membentang tikar dan meletakkan hidangan di atasnya.

Pahala
Pemuka agama Islam di Aceh Besar, Tgk Faisal Ali menyebutkan kenduri lebih bermakna memberikan makan kepada anak yatim dan fakir miskin. hal itu sangat baik atau dianjurkan jika dilakukan dalam bulan puasa karena akan mendapatkan pahala yang banyak.

Di Aceh Besar, juga kerap muncul adanya hidangan khusus yakni "hidang linto baro" (pengantin baru) di meunasah atau masjid saat kenduri "Tammat Darus".

"Itu sebuah tradisi di Aceh Besar, setiap pengantin baru atau baru puasa pertama berada di sebuah gampong, maka pada saat kenduri ada hidang linto baro, yang tentunya jumlah menu lebih banyak dibanding hidangan biasa," kata tokoh masyarakat Gampong Lamkruet, Lhoknga, Herdiansyah.

Bahkan, seusai shalat tarawih pada malam kenduri "Tammat Darus", pengantin laki-laki yang baru menikah itu "wajib" datang ke meunasah di Aceh Besar. Saat datang ke meunasah, pengantin baru itu terkadang membawa sirup dan rokok, kemudian bergabung dengan pemuda atau warga lainnya di meunasah.

"Itu bisa diartikan hubungan silaturahim awal antara linto baro dengan masyarakat gampong di meunasah. Jadi sirup dan rokok itu bermakna buah tangan dari seorang tamu kepada tuan rumah," kata Wahidin, warga Aceh Besar.

Meski itu sebuah syiar Islam dan tradisi pada setiap bulan Ramadhan di Aceh, kenduri "Tammat Darus" tersebut diharapkan banyak pihak untuk dipertahankan di daerah berjuluk Serambi Mekah tersebut.
(A042/A011)

Pewarta: Azhari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010