Jakarta (ANTARA News) - Aksi cepat saji Departemen Kesehatan Taiwan menertibkan Indomie dari rak-rak toko ritel membuat jagat kuliner nasional cepat meradang kemudian cepat menerjang fatsun "siapa kawan, siapa lawan" di arena bisnis makanan global.

Kalau Amerika Serikat memanjakan konsumen dunia dengan produk Coca Cola dan McDonald's bagi indera pengecap, serta CNN bagi indera penglihatan, maka ekspansi mi instan ke seluruh negeri bagaikan "meng-klik" sebuah tetikus (mouse) pada komputer.

Baik mi instan maupun produk Amrik itu sama-sama memuaskan dahaga publik dalam hitungan lima sampai 10 menit. Yang ditawarkan, keintiman dan kesegeraan serba instan. "Saya minum bla bla bla, maka saya ada; saya makan bla bla bla, maka saya ada".

Popularitas "indomie seleraku" tercekat oleh aksi penolakan dan aksi pasang kuda-kuda dari sejumlah negara. Taiwan mengumumkan penarikan produk Indomie pada Jumat setelah mencekal dua bahan pengawet terlarang, yaitu methyl phydroxybenzoate dan benzoic acid.

Drama menyeramkan seakan mengintai meja makan dan mengusik meja kesehatan publik ketika melakoni sinetron berjudul Gaduh Mi Instan. Bahan itu biasa dipakai dalam industri kosmetik. Taiwan, Kanada, dan Eropa melarang penggunaan bahan pengawet itu.

Bukan main-main, pengawet itu dapat menyebabkan mual-mual. Bila dikonsumsi dalam jangka waktu lama, bahan itu dapat memunculkan metabolic acidosis atau kondisi ketika pencernaan terlalu asam.

Warta gaduh mi instan meluas sampai gerai-gerai di Hongkong dan Singapura. Seperti dilansir situs The Standard, gara-gara razia tersebut, dua gerai ritel di Hongkong, ParknShop dan Wellcome, menarik semua produk Indomie dari rak-rak penjualannya.

Laman Channelnewsasia.com yang dikutip oleh harian Kontan memberitakan, Agri-Food and Veterinary Authority (AVA) selaku pengawas produk makanan Singapura tengah melakukan investigasi terhadap produk Indomie.

Bak diterpa petir siang bolong, aksi razia dan aksi investigasi itu direspons oleh sejumlah pejabat tinggi nasional. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menyatakan produk mi instan merek Indomie aman dikonsumsi. “Ada perbedaan standar memang,” jelasnya, sebagaimana dikutip dari laman Kompas.Com.

Senada dan seirama, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih menjamin bahwa dari sisi kesehatan, mi instan buatan Indonesia aman untuk dikonsumsi. Dengan gaya berkelakar, ia sempat mengatakana lebih baik masyarakat Indonesia mengonsumsi sayur dan buah-buahan karena lebih sehat. "Lebih baik makan sayur dan buah saja deh daripada mi instan," katanya.

Tidak hendak menyodorkan kelakar di tengah gaduh mi instan yang membuat hati konsumen gundah, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kustantinah memastikan bahwa Indomie yang beredar di Indonesia aman dikonsumsi dan tidak membahayakan masyarakat.

"Saya tidak tahu produk Indomie yang beredar di Taiwan. Tiap negara punya syarat tersendiri dan terkadang berbeda. Saya bicara untuk produk Indomie di Indonesia. Persyaratan yang kita terapkan mengacu pada syarat secara internasional, yakni Codex, badan standardisasi internasional," katanya.

"Sesuai standar itu, kita kembali mengkaji agar bisa mendapatkan risiko paparan maksimum dari bahan tambahan pangan," ujarnya.

Di satu pihak, wabah pro kontra menyelimuti sajian mi instan; di lain pihak, arus kritis publik melahap untuk mengusung panji revolusioner "konsumen tergerak oleh nilai".

Mereka menuangkan uneg-unegnya. "Kok bisa ya tiap negara itu berbeda standar dalam menentukan standar penggunaan bahan pengawet? Bukannya kita itu sudah mempunyai Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menjadi tolak ukur kesehatan dunia," tulis Fadil Ahmad.

"Mari kita uji dengan mewajibkan bu menteri ini makan indomie 3x sehari selama seminggu kemudian kita periksa liver dan ginjalnya, kalau tidak ada masalah baru kita mulai lagi makan indomie...setujuuuuuu," tulis Revan Atila.

Sedangkan John Holden menulis, "Aman di Indonesia, koq ngga aman di Taiwan ya? Coba diperiksa lagi". Komentar pamungkas datang dari Wioko Yudhantara, "bukannya dari dulu makan mie emang gak sehat ya?? ckckck".

Gaduh mi instan merujuk kepada pertanyaan, siapakah konsumen yang tergerak oleh nilai? Jawabnya, baik mereka yang pro maupun yang kontra sama-sama mengamini salah satu anak kandung dari kredo globalisasi bahwa "Anda adalah Apa yang Anda Makan".

Kredo lanjutannya, "Anda adalah Apa yang Anda Suarakan atau Apa yang Anda Pertimbangkan".

Manusia dapat membuat pertimbangan, hewan tidak. Ketika manusia lapar, ia tidak langsung makan. Dia menimbang lalu memilih jenis makanan dan minuman yang sehat. Dalam setiap manusia ada sikap dan penghayatan terhadap hidup yang bersumber kepada keseluruhan pertimbangan rasional, rasa, dan intuisi (actus vivens).

Implikasinya, pertimbangan untung-rugi bukanlah hal terakhir, dan bukan hal segalanya. Hewan tidak bisa melakoni "actus vivens", karena hewan tidak memiliki kualitas khas setiap manusia yakni keindahan, kecemerlangan dan kebenaran.

Meminjam istilah filsuf dan teolog Thomas Aquinas "pulchrum est splendor veritatis" (yang indah, atau keindahan merupakan kecemerlangan dari kebenaran).

Hanya manusia yang dapat bertanya, bagaimana kita harus berbuat. Bukan menjalani hidup berdasarkan pertimbangan nikmat-tidak nikmat. Orang "bernilai" semata-mata tidak karena ia bisa bermanfaat atau dimanipulasi demi capaian target perusahaan, misalnya.Manusia bernilai karena "dia itu manusia".

Sekerat kontemplasi di balik wacana gaduh mi instan, bahwa publik dapat mengajukan pertanyaan mendasar, sudah benarkah tindakanku? Sudah benarkah lingkungan kerjaku? Maka, bersegeralah berdialog sebelum revolusi kecil-kecilan berlari bersama waktu.
(A024/ART)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010