Jakarta (ANTARA News) - Kegaduhan politik mewarnai hampir sepanjang tahun pertama masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono.

Tak henti-hentinya kontroversi berkeliaran sejak SBY-Boediono diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2009.

"Pemerintahan ini telah menghabiskan energinya setahun dalam kontroversi yang tidak produktif," kata Direktur Riset Charta Politika Yunanto Wijaya saat berbincang dengan ANTARA.

Dalam analisis konten media mulai dari 20 Oktober 2009-10 Oktober 2010, Yunanto memperoleh gambaran yang tidak menggembirakan mengenai pemberitaan terhadap pemerintahan, terutama yang berhubungan dengan Presiden SBY.

Dalam setahun masa pemerintahannya, berita terkait dengan Presiden SBY 45 persen memiliki nada yang negatif, dan hanya 12 persen yang memiliki nada positif, sementara 43 persen lainnya netral.

Hasil ini menurut Yunanto menunjukan pernyataan Presiden kurang efektif dalam menangani masalah namun justru sebaliknya seringkali menimbulkan kontroversi.

"Sebagai pemimpin, Presiden telah kehilangan dirinya sebagai inspirator, sebab setiap pernyataannya lebih dinilai negatif. Semakin sering bicara, ia semakin dipersepsikan negatif, pernyataan Presiden menjadi kurang efektif dalam menyelesaikan masalah," katanya.

Yunanto juga mengungkapkan, isu terkait dengan kasus Century memiliki bobot 16 persen dari total pemberitaan selama setahun, setara dengan kinerja KIB II yang juga mencapai 16 persen.

Sementara di urutan ketiga terkait koalisi dan Sekretariat Gabungan (Setgab) sebesar tujuh persen, diikuti kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan enam persen dan kongres Partai Demokrat dengan bobot pemberitaan lima persen.

"Sementara lainnya sangat kecil, bahkan isu-isu saat pemilu lenyap, tidak menjadi penting. Ini berbeda dengan Obama (Presiden AS) yang hingga kini isu masalah RUU kesehatan sesuai dengan tema kampanyenya menjadi bagian porsi terbesar," katanya.

Hasil ini, menurut Yunanto, menunjukkan telah terjadi pergeseran dari harapan yang sangat tinggi kepada Presiden, karena memenangkan dengan meyakinkan 60,8 persen, menjadi kekecewaan.

Ia menjelaskan, salah satu penyebab munculnya berbagai kontroversi tersebut adalah liarnya koalisi yang dibentuk. Koalisi pemerintahan tidak memiliki loyalitas dan sering memainkan perannya sendiri.

"Koalisi yang sangat tambun dengan kabinet yang disusun dengan dasar pembagian kelompok kepentingan dan politis, menyebabkan isu yang lebih liar berkeliaran dan mudah dimainkan partai politik," katanya.

Selain itu, Presiden juga berkutat dalam pemberitaan pertarungan politik, lebih berperan sebagai aktor politik Partai Demokrat, yang banyak bermain pada isu-isu kontroversial.

"Konstelasi ini menjebak Presiden ke dalam pemberitaan yang tidak produktif dan efektif," katanya. Di sisi lain, peran Wakil Presiden juga tidak menonjol.

"Terlihat sekali sosok Bodiono ini sangat kecil pemberitaannya dibanding JK, karena semua terfokus ke Presiden," katanya.

Pengamat Politik Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi juga sependapat, permainan dua kaki partai politik koalisi membuat politik lebih gaduh, meskipun Presiden kadangkala seringkali menciptakan kontroversi sendiri.

"Safety player"

Pakar Komunikasi Universitas Indonesia Bachtiar Aly melihat selama setahun pemerintahan SBY-Boediono, beban komunikasi politik hampir semuanya diberikan kepada Presiden.

Hal ini membuat beban Presiden sangat berlebihan, dan seringkali tampil dalam hal-hal yang tidak perlu sehingga seringkali justru menuai kontroversi. Padahal isu itu seharusnya dapat dikelola oleh para menteri dan pembantu lainnya.

"Para menteri lebih menyukai main aman, ada kekhawatiran kalau tidak sinkron dengan Presiden," katanya.

Padahal, kata dia, menteri itu juga pemimpin yang memperoleh mandat dari Presiden.

Ia juga mengungkapkan isu tidak lagi bisa dikemudikan oleh pemerintah dan berkembang menjadi kelemahan pemerintah. Pemerintah, menurut dia, hanya bertahan dengan isu-isu yang digulirkan dan dibuat oleh media.

"Pemerintah tidak punya isu yang menjadi driven (pengarah) bagi media massa. Pemerintah hanya menanggapi dan mengklarifikasi, tidak tahu isu itu dikendarai dan diarahkan ke mana, alhasil banyak yang menjadi kontroversi dan antiklimaks. Pemerintah layaknya pemadam kebakaran," katanya.

Untuk itu, menurut dia, Presiden harus mendorong para menterinya untuk aktif dan memberikan kewenangan (delegation of authority) kepada para menteri guna menjalankan komunikasi politik dan memberikan informasi kepada masyarakat.

Sementara tanggung jawab (delegation of responsibility) tetap berada di tangan Presiden. Sehingga pemerintah dapat membentuk opini publik. "Kalau keduanya di tangan Presiden, ya rumit," katanya.

Ia juga sangat menyayangkan kurangnya dukungan dari sistem yang ada, termasuk di sekeliling presiden. Bahkan seringkali koordinasi dalam sistem yang mendukung Presiden kacau.

"Hasilnya justru kita lihat seringkali juru bicara membuat informasi menjadi semakin simpang siur," katanya.

Menurut Guru Besar Fisip UI tersebut, pemerintah seharusnya bisa menjadikan dirinya sebagai penjuru informasi yang mempunyai kemampuan untuk membentuk opini publik.

"Bukan justru mengikuti media massa. Selama setahun, pemerintahan ini tidak cukup cerdik melakukan opini publik," Bachtiar Aly.
(M041/B010)

Oleh Oleh Muhammad Arief Iskandar
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010