Potisi, Bolivia (ANTARA News/AFP) - Gunung Cerro Rico, kandungan peraknya merupakan salah satu yang terbesar di dunia, terancam runtuh sesudah dieksploitasi selama 500 tahun, kata pejabat Bolivia, yang meminta agar diambil langkah-langkah untuk menyelamatkan situs historis itu.

"Mirip jam gelas yang perlahan-lahan tenggelam," kata Celestino Condori, presiden komite sipil Potisi, sebuah organisasi yang didedikasikan untuk menegakkan cara kerja berkelanjutan akibat penambangan membabi-buta dengan melubangi gunung itu untuk mendapatkan perak, tembaga, zinc dan timahnya.

Potisi, pernah menjadi kota terkaya Amerika Selatan oleh tambang perak di dalam gunung yang besar mengerucut di atasnya, sekarang bahkan lebih berbahaya bagi para penambang daripada biasanya, akibat longsor reguler yang dipicu oleh terowongan sepanjang 90 kilometer di dalam raksasa Cerro Rico atau "Bukit Kaya" itu.

Sekitar 12.000 pekerja tambang masuk ke tambang-tambang itu tiap hari, termasuk banyak anak dari keluarga yang terhimpit kemiskinan yang menipu umur agar dapat memperoleh upah harian satu dolar lebih.

Kekayaan besar yang tersembunyi di dalam bukit itu pernah dikatakan cukup untuk membangun jembatan perak dari kota ini hingga seterusnya sampai ke Spanyol -- ribuan kilometer jauhnya melewati benua Amerika Selatan dan Samudera Atlantik.

Proses penambangan tersebut mengambil sekitar 4.300 ton tanah dan mineral berharga gunung itu setiap hari. Sesudah lima abad pengoperasian terus menerus, kini terdapat 619 tambang terbuka, termasuk 120 yang kini masih digunakan, dan jaringan terowongan yang begitu luas.

Longsor, terowongan runtuh, batu berguguran dan keluarnya gas beracun secara tak terduga telah mengakibatkan 20 penambang tewas sejak awal 2009, menurut Federasi Koperasi Tambang (Fedecomin).

Selasa, seorang penambang berusia 17 tahun tewas setelah menghirup dosis mematikan karbon monoxida selagi mengumpulkan zinc jauh di dalam lereng bukit Cerro Rico.

Kematian telah membuat kepala Fedecomin Julio Quinones bertanya: "Apa yang dilakukan pemerintah " untuk membantu?

Tuntutan demi peraturan keamanan yang lebih baik dan untuk mencegah semakin memburuknya Cerro Rico berbuah pemogokan sipil 19 hari di Potosi pada Agustus, yang mendorong pemerintah untuk melakukan studi tentang bagaimana menyelamatkan gunung tersebut.

Kekecewaan penduduk lokal maupun para pejabat terhadap keengganan Presiden Evo Morales untuk menegakkan peraturan yang lebih ketat makin menajam, namun, sejak keberhasilan penyelamatan bulan ini terhadap 33 penambang yang terjebak di negara tetangga, Cile.

Morales memberi sambutan kepahlawanan minggu ini di istana presiden Quemado di La Paz, bagi
Carlos Mamani, penambang berusia 23 tahun yang terjebak bersama dengan rekan-rekan warga Cile selama rekor 69 hari.

"Apa yang mengganggu kita," kata Quinones kepada AFP, "adalah bahwa presiden dapat memobilisasi dengan segera untuk terlibat (dalam cerita kepahlawanan Cile), namun ketika kecelakaan seperti itu terjadi di Potosi atau tempat lain di Bolivia, yang banyak runtuhan dengan akibat tragis, (Morales) tidak pernah terlibat."

Pertambangan menghasilkan pendapatan miliaran dolar bagi Bolivia yang kaya mineral, namun pemerintah mengambil pendekatan lepas tangan terhadap simbol kekayaan historis ini, yang beroperasi sejak 1545.

Pertama kali dieksploitasi oleh Inca, tambang itu diambilalih oleh penjajah Spanyol dan puluhan ribu orang pribumi dan budak Afrika, kemudian pemerintah Bolivia dan kini perusahaan-perusahaan swasta.

Meskipun penambangan telah belangsung berabad-abad, namun pihak-pihak berwenang memperkirakan kekayaan berlimpah masih tetap akan ditemukan.

Arnulfo Gutierrez, sekretaris pertambangan departemen Potosi, mengatakan kepada AFP eksploitasi telah "mengekspose delapan tingkat pada gunung itu," masing-masing berukuran sekitar 30 meter kedalamannya di dalam struktur tersebut, namun masih ada "10 tingkat lagi" dengan kandungan mineral berharga.

"Gunung tersebut besar sekali, dan kekayaannya tak terbilang," katanya. (ANT/K004/TERJ)

Penerjemah: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010