Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (Mappi) meminta, selain Ernst&Young, audit kinerja keuangan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) mesti memakai opini kedua dari penilai independen agar terhindar dari konflik kepentingan.

Ketua Umum Mappi, Hamid Yusuf, di Jakarta, Kamis, mengatakan, Inalum merupakan aset negara, sehingga perlu memakai penilai independen sebagai "second opinion."

"Sebagai upaya menyelamatkan aset negara, harus ada `second opinion,`" katanya.

Saat ini, audit Inalum hanya dilakukan Ernst&Young yang ditunjuk pihak Jepang.

Hamid mengatakan, konsultan independen itu bisa perusahaan lokal atau asing, tapi mesti bermitra dengan penilai lokal yang sudah terdaftar di Kementerian Keuangan.

Atau, lanjutnya, opsi lainnya adalah Ernst&Young menggandeng penilai lokal yang terdaftar di Kementerian Keuangan.

"Intinya, Ernst&Young harus menggandeng penilai lokal agar lebih `fair` dan bisa dipertanggungjawabkan," katanya.

Apalagi, lanjutnya, penilaian Inalum menyangkut kepentingan Indonesia.

"Ernst&Young juga harus menghormati hukum di Indonesia," tambahnya.

Hamid menambahkan, pentingnya opini kedua atau Ernst&Young menggandeng mitra lokal agar tidak terulang pengalaman buruk saat menilai aset-aset negara yang dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

"Saat itu, BPPN hanya menggunakan konsultan asing dan akhirnya sampai sekarang masih bermasalah," ujarnya.

Secara terpisah, dosen pascasarjana program ekonomi Universitas Indonesia Zulkieflimansyah mendukung perlunya opini kedua dalam audit Inalum selain audit Ernst&Young.

"Apapun hasil auditnya, kami dukung pemerintah yang ingin mengambil alih Inalum ini untuk indonesia," tegasnya.

Sebelumnya, Komisi VII DPR meminta pemerintah mengutamakan kepentingan industri hilir nasional saat menggelar perundingan pengambilalihan PT Inalum.

Saat ini, dari produksi aluminium batangan (ingot) Inalum yang mencapai 250 ribu ton, sekitar 60 persen diekspor ke Jepang.

Sisanya, atau 40 persen dipasok ke domestik dan diekspor ke negara di luar Jepang.

Di pasar domestik, Inalum menjadi sumber pasokan bahan baku aluminium bagi setidaknya 65 perusahaan lokal.

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, M Romahurmuziy menilai, audit Inalum sebenarnya tidak diperlukan, kecuali diminta oleh perusahaan di Indonesia yang akan mengakuisisi pabrik pengolahan aluminium tersebut.

Di sisi lain, penetapan Ernst&Young sebagai auditor Inalum bukan atas permintaan Pemerintah Indonesia melainkan pihak Jepang yang menghendaki perpanjangan kontrak di Inalum.

Selain itu, audit finansial tidak cukup karena yang dibutuhkan adalah audit operasional perseroan.

Saat ini, pemerintah mengkaji dua opsi soal Inalum.

Pertama, usulan Jepang yang meminta perpanjangan kontrak pengelolaan Inalum dengan insentif penambahan investasi ratusan juta dolar AS buat pengembangan kapasitas produksi aluminium sekaligus pembangkit listrik.

Opsi kedua, pengelolaan selanjutnya diserahkan ke pihak nasional dengan opsi membentuk BUMN baru atau lewat BUMN yang sudah ada seperti PT Antam Tbk. (K007/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010