Jakarta (ANTARA News) - Lewat film barunya, penulis skenario sekaligus sutradara Gareth Edwards menyatakan telah membuat film monster paling realistis.

Dia bukan ingin menciptakan tiruan makhluk asing yang sosok biologisnya paling masuk akal atau film dengan kualitas efek terhebat.

Edwards hanya ingin membuat film mengenai kisah yang mungkin terjadi ketika makhluk asing menginvasi Bumi.

Apa dia berhasil?

Sayangnya, pada pemutaran perdana filmnya di festival film fiksi ilmiah di London (Sci-Fi London Film Festival), dia mengaku misi itu tidak berhasil.

Namun ada sejumlah hal yang membuat "Monsters" --judul filmnya itu-- memang berbeda dari kebanyakan film yang menceritakan invasi makhluk ruang angkasa ke Bumi, dan khususnya dengan film-film fiksi ilmiah.

Pertama, tidak ada adegan kiamat dalam film ini. Kedua, film ini lebih merupakan cerita cinta ketimbang film "gedebak gedebuk" perang melawan makhluk asing. Ketiga, biayanya rendah sekali.

Edwards menyatakan, anggaran filmnya tak lebih dari yang digembar-gemborkan gosip media online, yaitu cuma 15 ribu dolar AS (Rp130 juta).

Sosok hero pada film ini adalah jurnalis foto Kaulder dan Sam. Sam adalah anak perempuan dari bosnya si Kaulder.

Kisah film dibuka di Meksiko di suatu masa setelah sebuah pesawat ruang angkasa NASA kembali dari Europa, bulannya planet Jupiter.

Misi antariksa ini sukses luar biasa karena berhasil menemukan kehidupan lain di luar angkasa, tapi kecelakaan fatal telah membuat makhluk ruang angaksa yang dibawa misi itu terdampar di Amerika Tengah (Meksiko).

Makhluk-makhluk asing ini lalu berkembang menjadi organisme-organisme hidup bermuka gurita penjelajah raksasa, dan menguasai bagian besar wilayah Meksiko yang kemudian dideklarasikan sebagai zona terinfeksi.

Tapi peristiwa itu terjadi enam tahun lalu. Setelah waktu itu, media massa tak lagi heboh, kehadiran makhluk asing di Bumi dianggap biasa.

Dengan makhluk ruang angkasa ada di halaman belakangnya, pemerintah AS lalu mengambil langkah keras dan destruktif untuk mengamankan perbatasannya dengan Meksiko.

Sam (diperankan Whitney Able) dan Kaulder (Scott McNairy) harus melintasi zona terinfeksi ini untuk kembali ke Amerika Serikat.

Film berkisah ala gerilya yag dituntaskan dalam waktu enam pekan dengan pemeran utama dua orang ditambah enam awak dan memanfaatkan orang-orang setempat di Meksiko serta kerap berisi improvisasi dialog, berada di batas film dokumenter dengan film fiksi.

Edwards belajar film dengan cita-cita menjadi sutradara, namun sebagian besar kerja yang dia geluti malah bekutat di bidang efek visual dan dia melakukannya dengan sangat ahli.

Tak heran filmnya ini terlihat sebagus film-film fiksi ilmiah berbiaya besar dan bahkan bisa disandingkan dengan "District 9" dan "Cloverfield."

Ketimbang menggunakan teknik kroping untuk menempatkan aktor-aktornya di depan latar yang telah dipilih, Edwards meracik efek khusus secara organis ke dalam latar asli.

Itu terlimat mulai dari grafiti berisi pesan ancaman makhluk ruang angkasa, slogan dan propaganda peringatan pemerintah mengenai bahaya makhluk asing, sampai gambaran makhluk-makhuk asing itu sendiri.

Penonton akan melihat telur-telur makhluk-makhluk ruang angkasa itu menetas seperti jamur yang menempel di sela-sela pohon.

Lalu penonton melihat makhluk-makhluk asing dewasa bertubuh besar dalam wujud menakutkan berkomunikasi lewat sentuhan, persis seperti gurita.

Penonton akan dibuat penasaran ingin mengetahui biologi makhluk-makhluk asing dan siklus hidup mereka di bulan Europa.

Masalahnya, kecuali judulnya, film ini sama sekali bukan tentang monster, melainkan mengenai dua anak manusia yang terlempar ke tujuan sama yang juga berlaku universal, yaitu pulang ke rumah.

Tapi di situ terselip pesan moral: jika ada hal buruk membunuh manusia, pantaskah kita membunuh banyak manusia untuk menghentikan hal buruk tadi?

29 Oktober kemarin, "Monsters" ditayangkan di New York dan Los Angeles. Inggris akan menikmati film ini tanggal 3 Desember. Kapan ya tayang di Indonesia?

New Scientist/Jafar

Penerjemah: Jafar M Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010