Jakarta (ANTARA) - Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, sebagai pejabat publik, mencanangkan vaksinasi pelajar secara serentak di 38 kabupaten dan kota.

Pernyataan Gubernur Khofifah itu memang diperlukan untuk menggenjot gerakan vaksinasi secara masif sekaligus mendukung vaksinasi secara nasional.

Namun pernyataan Khofifah masih kategori kebijakan politik. Dalam tataran kebijakan politik seperti ini belum ada maknanya karena sulit dilaksanakan.

Untuk itu perlu diterjemahkan menjadi kebijakan manajemen. Sepanjang belum diterjemahkan menjadi kebijakan manajemen, belum bisa dioperasionalkan.

Dengan kebijakan manajemen, akan muncul perencanaan dimana sudah termasuk bagaimana perencanaannya, disiapkan SDM, sumber dana yang jelas baik jumlah maupun asal sumber dan pertanggungjawabannya, infrastruktur, sarana prasarana, metodologi dan strategi, dan yang tidak kalah penting memperhatikan waktu.

Pengorganisasinya sudah dipersiapkan siapa yang akan menjadi operator dan bagaimana struktur dalam organisasinya. Aktualisasinya jelas siapa berbuat apa, bertanggung jawab kepada siapa. Dipersiapkan juga siapa yang bertangung jawab untuk monitor dari hulu hingga hilir dan mengevaluasi, yang sewaktu waktu bisa berubah, sekaligus bisa dijadikan rujukan perencanaan selanjutnya.

Banyak contoh kebijakan politik yang memang harus diterjemahkan. Kenyataannya, banyak yang tidak dilanjuti atau diterjemahkan hanya sebagian saja.

Ambil satu contoh, seorang pejabat politik yang memang memiliki wewenang dan paling bertanggung jawab, karena bencana alam gempa, mengeluarkan kebijakan, “Semua korban bencana alam gempa untuk penyembuhannya akan ditanggung pemerintah baik di rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta”

Kebijakan politik ini langsung menjadi berita utama di berbagai media. Nuansa pemberitaan sangat positif karena semua korban gratis berobat baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Muncul persoalan ketika tidak diterjemahkan menjadi kebijakan manajemen secara holistik, secara utuh dan menyeluruh.

Akibatnya, muncul permasalahan di tataran lapangan. Banyak keluhan dari masyarakat korban gempa yang berobat di rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta. Dalam waktu sepuluh hari, yang muncul pemberitaan menjadi berbalik dengan pemberitaan sebelumnya.

Banyak problem yang dihadapi pihak rumah sakit, seperti obat kurang dan tenaga medis terbatas. Siapa yang menyelesaikan biaya. Bagaimana caranya. Pasien terlantar dan sebagainya.

Ini sekadar contoh, apabila kebijakan politik berhenti, padahal sudah dikomunikasikan ke publik, dan tidak ditindak lanjuti dengan diterjemahkan menjadi kebijakan manajemen.

Baca juga: Anggota DPR: Pemerintah pusat-daerah perbaiki pola komunikasi

Baca juga: Komunikasi dan informasi digital bawa "ruang baru" pada era pandemi


Mass Communication Multi Step Flow

Kebijakan yang diambil Khofifah harus segera diterjemahkan menjadi menjadi kebijakan manajemen. Pada konteks tulisan ini, akan membahas bagaimana menerjemahkan dari aspek komunikasi.

Sejatinya, kebijakan publik bisa dikategorikan sebagai sub dari ilmu komunikasi. Mengapa ? Karena materi, pesan, ajakan, himbauan, persuasif bahkan cenderung memaksa yang sejatinya ditujukan kepada publik.

Karena ditujukan kepada publik, maka model komunikasi pun menjadi komunikasi publik. Komunikasi massa. Komunikasi dengan orang banyak. Komunikasi dengan khalayak. Komunikasi dengan 40.665.696 penduduk Jawa Timur.

Kebijakan Khofifah mencanangkan vaksinasi pelajar secara serentak di 38 kabupaten dan kota, sejatinya bentuk komunikasi publik/massa. Harapannya, semua pemangku kepentingan di Jawa Timur, semua orang tua murid, sekolah, guru dan tenaga kependidikan harus nyambung dengan kebijakan Khofifah. Harus satu frekuensi.

Bagaimana bentuk dan model komunikasinya ? Itu baru Jawa Timur dengan penduduk 40.665.696 jiwa . Bagaimana Presiden Jokowi yang memiliki khalayak se Indonesia yang jumlah penduduknya mengutip Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia hingga Desember 2020 mencapai 271.349.889 jiwa.

Bagaimana idealnya tujuh (7) gubernur di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbanyak untuk tingkat provinsi. Urutan pertama Jawa Barat, Ridwan Kamil sebagai gubernur memiliki jumlah penduduk tertinggi provinsi yang dipimpinnya, sebanyak 48.274.162 jiwa.

Kedua Jawa Timur, Khofifah Indar Parawangsa penduduknya 40.665.696 jiwa. Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah harus berkomunikasi dengan penduduknya yang jumlahnya peringkat ketiga sebanyak 36.516.035 jiwa.

Urutan keempat, berada di luar Jawa, Sumatera Utara, Edy Rahmayadi sebagai gubernur harus berkomunikasi dengan 14.799.361 jiwa penduduknya. Urutan kelima, Provinsi Banten, Wahidin Halim sebagai gubernur berkomunikasi dengan penduduknya sebanyak 11.904.562 jiwa.

Urutan keenam, Anies Baswedan sebagai gubernur harus berkomunikasi dengan penduduk Ibu Kota sebanyak 10.562.088 jiwa. Terakhir sebagai provinsi peringkat ketujuh Sulawesi Selatan dengan jumlah penduduk sebanyak, 9.073.509 jiwa, Andi Sudirman Sulaiman sebagai gubernur harus berkomunikasi.

Dari kepala negara, gubernur, bupati dan walikota bahkan camat dan kepala desa serta lurah seyogyanya mengambil strategi komunikasi model komunikasi banyak tahap, Multi Step Flow of Communication.

Model komunikasi massa banyak tahap ini sebenarnya merupakan gabungan dari model satu tahap dan dua tahap. Mengapa diperlukan model komunikasi massa banyak tahap, karena penyampaian pesan untuk vaksinasi kepada masyarakat melalui interaksi yang kompleks. Banyak variasi variabel.

Hal ini dikarenakan karakteristik masyarakat dari kota hingga di pelosok desa sangat beragam.

Aneka ragam itulah, yang terdiri dari banyaknya suku, etnis, ras, agama, adat istiadat, budaya dan bertebaran di banyak pulau. Berbeda dari aspek sosial, ekonomi, pendidikan bahkan pengetahuan tentang politik kebijakan.

Apa keuntungan dengan strategi komunikasi banyak tahap ? Mengapa harus memilih komunikasi banyak tahap ?Sebelum membahas komunikasi banyak tahap, diawali dari komunikasi satu tahap, one step flow communication.

Komunikasi model satu tahap, dalam konteks ini gerakan vaksin nasional yang didukung gerakan masing-masing daerah (provinsi) yang dimotori para gubernur sebagai dirijen, bisa diartikan satu tahap lewat media massa langsung ke khalayak, ke masyarakat luas.

Model ini juga dikenal dengan istilah teori peluru atau jarum yang langsung menusuk ke khalayak bisa dinamakan Hypodermic Needle Theory, teori jarum hipodermik.

Teori ini sudah dianggap tidak efektif di mana dinamika di lapangan yang banyak variabel beraneka ragam salah satu ciri masyarakat Indonesia menjadi sangat kompleks.

Jangankan komunikasi model satu tahap, model komunikasi dua tahap saja apalagi untuk menggenjot program gerakan vaksinasi nasional efektivitasnya diragukan.

Maka model komunikasi banyak tahap, “Mass Communication Multi Step Flow” sepertinya menjadi pilihan yang harus diambil. Mengapa ? Karena karakteristik masyarakat Indonesia yang sangat heterogen dari banyak aspek.

Komunikasi model banyak tahap mengisyaratkan filosofi kerja bareng, artinya pemerintah berkolaborasi dengan banyak pihak, sebagai titik-titik komunikator sesuai dengan karakteristik masing-masing yang ada di daerah.

Titik-titik sebagai komunikator, berasal dari beragam latar belakang dengan harapan satu visi, satu cara pandang, satu referensi, satu bahasa, satu budaya dan satu karakteristik. Satu frekuensi. Pengalaman dan latar belakang yang sama.

Ini berkolaborasi pemerintah, dengan stakeholders terdiri dari pemuka agama, tokoh masyarakat, dunia Pendidikan, dunia bisnis, dunia seni, dunia olahraga, lembaga swadaya masyarakat, partai politik dan sudah barang tentu TNI dan POLRI.

Baca juga: Ipsos: 60 persen masyarakat puas dengan komunikasi penanganan COVID-19

Baca juga: Legislatif minta penanganan COVID-19 gunakan pola komunikasi solutif



*) Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si adalah pengamat Kebijakan Publik, Fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang dan pengajar tidak tetap STIE Semarang dan STIE BPD Jateng.

Copyright © ANTARA 2021