Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menyarankan pemerintah Indonesia menarik seluruh tenaga kerja wanita yang menjadi pembantu rumah tangga di Arab Saudi, sekaligus menghentikan pengiriman tenaga kerja sejenis ke negara itu.

Sebab, kata Hasyim, di Jakarta, Senin, mayoritas pembantu rumah tangga asal Indonesia di Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya menghadapi masalah karena perbedaan budaya.

"Perbedaan budaya ini menyangkut perbedaan cara pandang terhadap pembantu rumah tangga. Itu alasan pertama," kata Hasyim.

Alasan kedua, lanjutnya, pemerintah Arab Saudi selama ini tidak bisa melakukan kontrol yang maksimal terhadap pembantu rumah tangga asal Indonesia di rumah majikan masing-masing.

"Situasinya menjadi repot karena polisi Arab Saudi tidak bisa dengan mudah masuk ke rumah majikan dari pembantu rumah tangga. Sehingga polisi di sana tidak tahu kalau ada pembantu rumah tangga disiksa dan lain-lainnya," katanya.

Kerena kelemahan kontrol dari pemerintah setempat itulah, kata Hasyim, masalah pembantu rumah tangga asal Indonesia di Arab Saudi dan sejumlah negara lainnya sulit terbongkar.

"Setelah pembantu rumah tangga itu meninggal, melarikan diri atau terekpos media, baru bisa diketahui masalahnya," tuturnya.

Menurut Hasyim, penarikan pembantu rumah tangga dari Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya tentu harus dilakukan secara bertahap dan selanjutnya mereka diarahkan untuk bekerja di negara-negara yang dilindungi organisasi buruh di bawah koordinasi PBB (ILO).

Namun, Hasyim mengakui bukan urusan mudah untuk menarik pembantu rumah tangga di Arab Saudi dan negara lainnya. Karena itu, diperlukan peran Kepala Negara.

"Yang bisa melakukan ini hanya Kepala Negara RI dengan melakukan kontak diplomasi tingkat tinggi langsung dengan kepala negara setempat. Setelah itu, secara teknis menteri terkait yang melaksanakan di lapangan," katanya.

Selanjutnya, kata Hasyim, diperlukan koordinasi lintas kementerian yang langsung di bawah komando presiden untuk mengatasi masalah tenaga kerja Indonesia (TKI) sehingga tata operasionalnya bisa berjalan secara terpadu.

"Kalau hanya diurus menteri masih kurang wibawa," kata sekretaris jenderal International Confrence of Islamic Scholars (ICIS) tersebut.
(S024/A041)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010