Surabaya (ANTARA News) - Sebanyak 250 mubalighah atau juru dakwah perempuan dari kalangan Hizbut Tahrir Indonesia dari seluruh daerah di Provinsi Jawa Timur, Minggu, menolak pengiriman Tenaga Kerja Wanita ke luar negeri sehubungan dengan maraknya kasus penganiayaan terhadap pahlawan devisa tersebut.

"Kami menolak melalui pernyataan politik untuk pemerintah dan masyarakat yang dihasilkan para mubalighah dari pertemuan di Surabaya," kata anggota DPP Muslimah HTI, Nabila Asy-Syafii.

Menurut dia, inti dari pernyataan politik mubalighah HTI se-Jatim kepada pemerintah dan masyarakat itu meminta untuk menghentikan pengiriman TKW ke luar negeri.

"Pengiriman TKW ke luar negeri memang menghasilkan devisa peringkat kedua setelah minyak dan gas, tapi ternyata pengiriman TKW itu ada persoalan baru. Sebagian memang untung, tapi lebih banyak kerugiannya," katanya.

Kerugiannya, katanya, antara lain TKW meninggalkan keluarga, sehingga siapa yang mendidik anak-anak, kemudian dampak negatif pada masyarakat akibat konsep sekuler yang mementingkan duniawi, sedangkan konsep Islam mementingkan kebahagiaan non-materi.

Selain itu, "ekspor" perempuan juga rentan terhadap penganiayaan dan penyiksaan, apalagi bila TKW itu tanpa keterampilan.

Ditanya solusi untuk mengurangi pengiriman TKW ke luar negeri, ia menyatakan hal itu sebenarnya bisa diselesaikan dengan pengelolaan sumber daya alam secara benar.

"Negeri kita mempunyai sumber daya alam yang banyak, seperti emas, batubara, dan sebagainya. Secara syar`i (hukum agama), kepemilikan sumber daya alam itu ada tiga yakni negara, umum, dan individu, tapi sekarang menjadi milik umum atau asing," katanya.

Pertemuan mubalighah HTI se-Jatim itu menampilkan sejumlah pembicara, di antaranya Ustadzah Retno Sukmaningrum (Ketua DPD Muslimah HTI Jatim) dan Ustadzah Asma Amina (anggota DPP Muslimah HTI).

Setelah pertemuan bertajuk "Dirosah Syar`iyah Khoshshoh lil Muballighoh" itu, ratusan peserta menandatangani pernyataan politik yang intinya menolak pengiriman TKW ke luar negeri.  (E011/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010