Seoul (ANTARA News) - Lebih dari 80 persen orang Korea Selatan menyatakan bahwa militer negaranya seharusnya menyeranga balik sekerasnya setelah Korea Utara pekan laluo melancarkan serangan artileri maut, demikain sebuah jajak pendapat, Senin.

Dalam soal provokasi Korea Utara, 40,6 persen warga Korsel mendukung penghancuran militer besar-besaran untuk mengindari perang habis-habisan, sedangkan 33 persen menyatakan siap mengambil risiko demi respons militer yang kuat terhadap Utara.

Lebih dari 90 persen tidak puas dengan reaksi hambar China setelah negara ini tidak mengutuk sekutu dekatnya Pyongyang atas serangan itu, demikian jajak pendapat yang diselenggarakan Asan Institute for Policy Studies tersebut.

Hampir 76 persen mendukung latihan perang bersama AL AS dan Korsel di Laut Kuning yang diupayakan sebagai pamer kekuatan terhadap Korea Utara, namun membuat Utara memperingatkan bahwa kawasan itu berada di ambang perang.

Institut ini menggelar survey telepon kepada 1.000 orang sepanjang Sabtu pekan lalu, empat hari setelah rejim garis keras Korut membunuh empat orang dan melukai 18 akibat serangan artilerinya ke pulau garis depan Korsel di Yeonpyeong.

Korea Selatan membalas serangan itu namun mengabaikan serangan udara karena khawatir memperluas skala perang.

Popularitas Presiden Lee Myung-Bak anjlok sekitar 45 persen menyusul serangan itu, dari sekitar 60 persen di awal bulan ini, setelah Lee menuanrumahi KTT G20.

Dari jajak pendapat itu, sekitar 66 persen memberikan penilaian negatif atas cara Lee menghadapi krisis itu.

Lebih dari setengah responden ingin menghentikan bantuan ke Utara sampai negara ini meminta maaf, dan jumlah yang sama mendukung tekanan yang keras seperti sanksi ekonomi untuk menundukkan Korea Utara agar mengakhiri program senjata nuklirnya.

Mayoritas responden tidak takut krisis yang terjadi sekarang ini akan semakin meluas, dengan 61 persen menyatakan kemungkinan perang habis-habisan tidaklah tinggi.(*)

Reuters/Adm/AR09

Penerjemah: Adam Rizallulhaq
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010