Negara harus mengakui sertifikat tanah itu sebagai legalitas kepemilikan sah yang sepanjang tidak ada perubahan berdasarkan keputusan pengadilan
Jakarta (ANTARA) - Pengamat kebijakan kehutanan, Sadino menilai klaim kawasan hutan memiliki potensi konflik yang bakal menyulitkan pelaku usaha atau emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) terutama berbasis pemanfaatan sumber daya alam (SDA) seperti perkebunan dan pertambangan.

Menurut dia, di Jakarta, Senin, potensi pelemahan kinerja ini dipicu banyaknya regulasi yang terbit melalui SK Menteri KLHK di sejumlah provinsi yang kerap menabrak hak konstitusional kepemilikan pelaku usaha seperti hak milik dan HGU.

Salah satu SK yang menabrak hak pelaku usaha di antaranya SK No.579/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara.
Lewat SK ini sekitar 92 ribu hektare lahan yang telah punya izin HGU tidak akan diakui karena dianggap berada di kawasan hutan.

"Bayangkan, jika satu perusahaan perkebunan yang notabene perusahaan publik yang mengklaim punya 100 ribu hektare lahan ber-HGU, tiba-tiba harus kehilangan 30 ribu hektare lahannya karena dianggap masuk kawasan hutan oleh KLHK, bagaimana harus mempertanggungjawabkan ke publik," kata Sadino.

Pemegang saham khususnya saham publik pastinya mempertanyakan transparansi perusahaan karena dianggap menyembunyikan informasi penting pada saat penawaran saham terbatas atau initial public offering (IPO).

Dampaknya, sudah pasti kepercayaan masyarakat terhadap pasar modal bakal berkurang dan harga saham emiten yang terkait juga bakal menurun.

"Potensi perusahaan publik yang akan terkena dampak tersebut, bukan hanya satu atau dua, tapi jumlahnya puluhan. Hal ini karena regulasi tersebut tidak hanya berlaku di Sumatera Utara, namun juga ada regulasi sejenis di banyak provinsi," kata Sadino.

Ia mengingatkan regulasi terkait klaim kawasan hutan itu juga bisa membatalkan banyak proyek strategis pemerintah.

Sementara itu, praktisi hukum Ricky Sitorus mengingatkan negara wajib menghormati hak-hak konstitusional pelaku usaha terkait kepemilikan lahan.

"Negara harus mengakui sertifikat tanah itu sebagai legalitas kepemilikan sah yang sepanjang tidak ada perubahan berdasarkan keputusan pengadilan," katanya.

Ricky menilai penetapan satu kawasan hutan hanya melalui penunjukan seperti yang terjadi saat ini di sejumlah provinsi tidak tepat dan rapuh.

"Sebaiknya, proses penunjukan penetapan kawasan hutan harus mengikuti tahapan-tahapan yang diperlukan menjadi suatu kawasan hutan yang tepat dan tetap dengan menghormati hak masyarakat," katanya.

Sementara itu, Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) Petrus Gunarso mengingatkan tanpa perubahan sistem dalam penetapan kawasan hutan, maka kepastian berusaha dan kepastian hak akan tanah akan selamanya terpasung.

Dalam hal ini, Kementerian LHK seharusnya berperan sebagai pengayom bagi seluruh sektor karena fungsi jamak dari hutan.

Ia juga mengatakan Kementerian LHK perlu mengubah sistem dalam penetapan kawasan hutan menjadi lebih manusiawi dengan mengadopsi asas yang berlaku umum dalam pendaftaran tanah yaitu contradictiore delimitatie.

Kementerian LHK juga tidak berjalan sendiri dan perlu bekerja sama dengan sektor lain dalam upaya percepatan penyelesaian penataan kawasan hutan.

Baca juga: IPB: Klaim kawasan hutan jangan hambat peremajaan sawit rakyat
Baca juga: Menteri LHK pastikan terus dorong percepatan penetapan hutan adat
Baca juga: Pendaftaran tanah jadi momentum pengakuan masyarakat kawasan hutan

Pewarta: Budi Suyanto
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021