Jakarta (ANTARA News) - Anggota Fraksi Partai Golkar DPR/MPR RI Agun Gunandjar Sudarsa mengemukakan, penetapan atau pengangkatan Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta merupakan satu-satunya keistimewaan daerah itu.

"Itu merupakan satu-satunya keistimewaan Yogyakarta. Yang lain apa lagi? Tidak ada yang lain, karena sejarahnya memang begitu," kata Agun dalam dialektika demokrasi di Press Room DPR/MPR Jakarta, Jumat.

Agun kemudian menguraikan kronologi perubahan UUD 1945 yang dilakukan anggota MPR periode 1999-2004 hingga disepakati rumusan UUD 1945 Pasal 18b poin (1) mengenai hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Pasal itu berbunyi "Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-Undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah".

Agun mengatakan, kesitimewaan Yogyakarta pernah dibahas Panitia Ad Hoc (PAH) MPR periode 1999-2004. Namun seluruh anggota PAH tidak menemukan satu pun keistimewaan Yogyakarta, kecuali penetapan atau pengangkatan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.

Dia mengatakan, pengakuan bahwa penetapan atau pengangkatan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan pengakuan terhadap sejarah bergabungnya Yogyakarta ke Republik Indonesia.

"Yogyakarta sudah ada sebelum Republik Indonesia. Kemudian bergabung yang saat itu Yogyakarta dipimpin Sri Sultan dan Paku Alam," katanya.

Dia mengatakan, sejarah mengenai bergabungnya Yogyakarta ke Republik Indonesia itu sudah dipahami masyarakat. Karena itu, masyarakat bereaksi terhadap sikap dan keinginan pemerintah pusat terkait kepemimpinan di Provinsi Yogyakarta dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta.

"Ada apa ini pemerintah pusat terhadap Sultan? Apakah karena Sultan itu Golkar? Padahal sudah Nasdem kok! Atau karena prediksi bahwa Sultan akan menjadi pesaing tahun 2014 atau apa?," katanya.

Mengenai penerapan demokrasi langsung dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur seperti diinginkan pemerintah, Agun mengatakan, Sri Sultan dan Paku Alam pasti tidak mau ikut pemilihan.

"Pasti tidak mau ikut karena hal itu justru menyalahi keistimewaan Yogyakarta," katanya.

Agun menyatakan, sikap dan keinginan pemerintah pusat terlalu berdasarkan pemahaman dan teori demokrasi dari Barat yang tidak memahami tradisi (kultur) dan kearifan lokal.(*)
(T.S023/S019)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010