Masyarakat Dayak dan Kutai, dua suku yang merupakan penduduk asli Pulau Kalimantan, sudah puluhan tahun mengenal olah raga adu fisik layaknya gulat dan sumo.

Pada masyarakat Dayak, olah raga tradisional dikenal dengan nama `Payuq` (adu fisik) dan sudah menjadi tradisi turun-temurun yang digelar pada setiap upacara keagamaan maupun ritual rasa syukur kepada Sang Pencipta atas hasil panen.

"Sejak puluhan tahun, masyarakat di Kaltim, khususnya Suku Dayak dan Kutai sudah mengenal olah raga adu fisik seperti layaknya olah raga gulat dan sumo. Namun sayangnya, olah raga adu fisik yang sudah menjadi kebanggaan masyarakat di Kaltim itu kurang digali dan mendapat perhatian sehingga gaungnya tidak `bergema` seperti olah raga tradisional lainnya yang saat ini banyak dilombakan," kata Pelatih Gulat Kaltim, Suryadi Gunawan.

Payuq, merupakan pertandingan yang dilakukan oleh dua pria yang bertujuan saling menjatuhkan, membanting hingga mengangkat lawan.

Kekuatan fisik dan teknik menjadi faktor penentu seorang peserta Payuq dianggap sebagai pemenang.

Namun, sportivitas dalam olah raga tradisional ini menjadi hal utama sebab kegiatan tersebut dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan dalam rangka menjaling kebersamaan, katanya.

"Pertandingan itu juga dipimpin oleh seorang wasit yang berfungsi memberikan poin kepada para peserta. Sportivitas jelas sangat terjaga sebab pada kegiatan itu. Kepala Suku biasanya ikut menyaksikan," ujar Suryadi Gunawan.

Bagi masyarakat Kutai, adu fisik tradisional dikenal dengan `Bebintih` (saling jegal).

Olah raga yang lebih mengandalkan kelincahan kaki dan kekuatan badan itu kata Suryadi Gunawan, juga digelar pada upacara keagamaan, perkawinan, ulang tahun kepala suku serta rangkaian pesta rasa syukur usai panen.

"Pertandingan Bebintih itu dilakukan dua orang yang saling menjegal sementara kedua bahu mereka juga harus saling beradu. Biasanya, kegiatan ini dilakukan di tengah sawah atau di lapangan kemudian diberi lingkaran," katanya.

"Pemenang lomba itu yakni yang berhasil menjatuhkan lawannya atau mendorong hingga ke luar lingkaran, seperti peraturan pada pertandingan sumo," kata Pelatih Gulat Kaltim tersebut.

Kedua olah raga tradisional masyarakat Kaltim itu kata Suryadi Gunawan menjadi `roh` para pegulat di Kaltim.

"Semangat Payuq dan Bebintih inilah yang melahirkan pegulat berprestasi di Kaltim," ujar Suryadi Gunawan.


Gulat Kaltim

Masa keemasan gulat di Kaltim kata Suryadi Gunawan mulai `meredup` sejak 1997.

"Pegulat Kaltim pernah berjaya dan mengukir prestasi hingga ke kancah internasional. Zaman keemasan itu berlangsung pada dekade 1987 hingga 1997. Namun, sejak 2000 sampai sekarang, prestasi gulat Kaltim terus merosot hingga mencapai titik nadir," ujar Suryadi Gunawan.

Melalui ajang `International Wrestling Cadet and School Tournament 2011` yang akan berlangsung di Gedung Serbaguna Stadion Sempaja Samarinda, 20 hingga 23 Januari 2011 itu, diharapkan gulat Kaltim akan kembali menggeliat.

"Pada pembukaan `International Wrestling Cadet and School Tournament 2011` itu nanti, kami akan mencoba menampilkan pertandingan `Payuq` dan `Bebintih` sebagai upaya merangsang para pegulat Kaltim untuk memacu prestasi demi mengembalikan kejayaan gulat," katanya.

"Kami juga ingin memperlihatkan kepada para pegulat lainnya, khususnya dari mancanegara bahwa prestasi yang pernah diraih para pegulat Kaltim itu didasari oleh nilai-nilai olah raga tradisional yang dimiliki tersebut," harapnya.

Tiga pegulat Kaltim pernah mencatatkan diri sebagai peraih emas SEA Games.

Pada SEA Games Jakarta 1987 dua pegulat Kaltim, Suryadi Gunawan dan Bunyamin berhasil menyumbangkan medali emas bagi Indonesia di gaya grego dan gaya bebas.

Kemudian, saat SEA Games Jakarta 1997 Suryadi Gunawan kembali meraih dua emas juga di gaya grego dan bebas.

Pegulat Kaltim, Ardiansyah kembali mengukir prestasi pada SEA Games 2009 di Laos, setelah berhasil meraih emas dari gaya grego.

"Pada SEA Games di Laos, Kaltim menyumbang lima dari 12 pegulat Indonesia yakni, Ardiansyah (kelas 50 kg gredo), M Aliansyah (60 kg grego), Eko Roni (50 kg bebas), Badriansyah (60 kg bebas) dan Andriansyah (66 kg bebas). Ini membuktikan bahwa Kaltim merupakan gudang pegulat, namun kejayaannya tidak sehebat pada dekade 1987 hingga 1997 silam," katanya.

"Saya berharap, kegiatan internasional ini akan menjadi momentum kebangkitan gulat di Kaltim, seperti kejayaan yang pernah menjadi kebanggaan warga Kaltim," ujar Suryadi Gunawan. (A053/KWR/K004)

Oleh Oleh Amirullah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011