Tegalrejo dan pondok pesantren yang dipimpin Mbah Dur, (adalah) salah satu inspirasi kuat kami selama ini dalam menjalani gerakan kebudayaan dan kemanusiaan
Semarang (ANTARA News) - Hujan deras sejak sore mereda begitu malam semakin erat dipeluk gelap. Puluhan orang berdiri di atas bangku mereka, lalu menundukkan kepala, takzim dalam doa, melepas kepergian ulama kharismatis KH Abdurrahman Chudlori yang  lebih diakrabi dengan panggilan Mbah Dur.

Kepergian pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam, Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin siang (24/1) itu, untuk menghadap Sang Khalik telah mereka dengar dari mulut ke mulut dan sms.

Mereka adalah peserta program pembelajaran kontemporer Sekolah Mendut yang dikelola Komunitas Lima Gunung dan Studio Mendut, Kabupaten Magelang, dan Konsorsium Kemiskinan Kota pimpinan Wardah Hafidz.

Selama sekitar dua minggu, sejumlah pegiat lembaga swadaya masyarakat yang berpusat di Jakarta dengan sepuluh simpul di beberapa kota Indonesia itu mengikuti Sekolah Mendut pimpinan budayawan Magelang, Sutanto Mendut.

Sekolah kontemporer itu antara lain mengajarkan interaksi dengan masyarakat pedesaan dan gunung, manajemen sosial desa, dan olah kelenturan tubuh dengan merespons gerakan alam.

Selama sekitar dua minggu itu mereka berkesempatan merespons bencana banjir lahar dingin Gunung Merapi di sejumlah tempat di Kabupaten Magelang yang dikelilingi lima gunung, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing dan Menoreh.

Mereka juga berkesempatan mengunjungi dan mengakrabi seniman petani di beberapa pusat pedesaan Komunitas Lima Gunung, diantaranya Padepokan "Wargo Budoyo" di lereng Gunung Merbabu, tepatnya di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun dan Sanggar "Teater Gadung Mlati" di Dusun Ngampel, Desa Sengi, Kecamatan Dukun.  Dua padepokan terakhir berada di lereng Gunung Merapi.

"Tegalrejo dan pondok pesantren yang dipimpin Mbah Dur, (adalah) salah satu inspirasi kuat kami selama ini dalam menjalani gerakan kebudayaan dan kemanusiaan," kata Sutanto.

Pondok pesantren di tepi Jalan Raya Magelang-Kopeng, Salatiga yang dibangun pada 1944 oleh KH Chudlori itu hingga kini mempertahankan tradisi melestarikan berbagai kekuatan budaya pedesaan dan gunung.

Almarhum Mbah Dur meneruskan kepemimpinan ponpes dari ayahnya itu sejak 1977.

Baik Mbah Chudlori maupun penerusnya Mbah Dur, kata Sutanto yang selama ini menggerakkan pengembangan kesenian tradisional dan kontemporer desa dan gunung di Magelang, adalah dua ulama berpengaruh bagi kemajuan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan berbasis kekuatan budaya lokal.

"Setiap khataman, ponpes Tegalrejo menggelar pawai kesenian rakyat, dan seniman petani dari desa-desa terlibat bersama para santri. Eksplorasi seni dan budaya malam ini juga kami persembahkan untuk mengenang semangat Mbah Dur," katanya.

Seniman petani Komunitas Lima Gunung jelas kehilangan oleh perginya Mbah Dur. Tetapi semangat mempertahankan dan mengembangkan gerakan kebudayaan dan kesenian rakyat adalah warisannya yang mesti dilanjutkan generasi mendatang.

Usai memanjatkan doa untuk Mbah Dur malam itu, di bawah puluhan pasang mata orang. mereka menyajikan pentas panggung bertajuk "Jamasan Pikir, Tubuh, dan Rasa" di panggung terbuka Studio Mendut, sekitar tiga kilometer timur Candi Borobudur.

Mereka mementaskan sejumlah pementasan kesenian kontemporer, antara lain tarian "Langen Matoyo", tembang "Madyo Pitutur", tarian "Bedoyo Kembang Setaman", tarian "Elastisitas Gerak Menyatu Dengan Alam", tarian "Geculan Bocah", musik "Truntung Gunung".

Beberapa performa hasil pembelajaran di Sekolah Mendut, juga mereka tampilkan, antara lain "Eksplorasi Terbunuhnya Sang Waktu", "Kebebasan", "Eksplorasi Peradaban", prosesi jamasan sebagai simbol wisuda mereka setelah menyelesaikan program pembelajaran Sekolah Mendut, dan penanaman pohon penghijauan.

Saat sama, sekitar 30 kilometer dari Studio Mendut di kompleks Ponpes API Tegalrejo, para pelayat terus berdatangan, arus lalu lintas utama Jalan Raya Magelang-Kopeng telah dialihkan ke jalur alternatif, sementara yang lain menata rangkaian bunga tanda duka yang datang dari berbagai kalangan masyarakat dan pemerintahan baik lokal maupun nasional.

Duka menyelimuti wajah mereka. Lantunan tahlil mengalun dari para santri dan pelayat malam itu, kian membangunkan duka di kompleks ponpes.

Siang harinya, Selasa (25/1), suasana cerah muncul, meskipun mendung menggumpal di langit di atas kompleks ponpes yang memiliki sekitar lima ribu santri dari berbagai daerah di Indonesia itu.

Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Syaifudin, dan sejumlah kepala daerah terutama di eks-Keresidenan Kedu melayat sang kyai kharismatis itu.

Adik kandung Mbah Dur, KH Muhammad Yusuf Chudlori, akrab disapa Gus Yusuf, dengan raut muka berduka, berusaha tetap tegar dan berdiri di teras rumah kakaknya itu untuk menyalami para pelayat.

Selama ini, Gus Yusuf yang selalu membawa panji-panji tradisi budaya dan kearifan ini intensif bergaul dengan seniman petani Komunitas Lima Gunung.

Jarum jam sudah menunjuk angka 10.30, sejumlah ulama berpengaruh dari berbagai daerah berjalan beriringan dari rumah duka ke masjid besar di ponpes itu, yang jaraknya hanya 100 meter. Di sinilah Mbah Dur disemayamkan.

Mereka antara lain KH Idris Marzuki dari Lirboyo Kediri, KH Chalwani dari Purworejo, KH Nurul Huda Zazuli dan KH Zainuddin dari Ploso Kediri, KH Nur Iskandar dari Jakarta), KH Abdul Rozak dari Tegalrandu Magelang, dan KH Hamid Baidlowi dari Lasem Rembang.

Masih ada Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah KH Muhammad Adnan dan sekretaris KH Masruri Mukni. Mbah Dur pernah menjabat syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Jenazah Mbah Dur yang terbungkus kain kafan berhiaskan rangkaian bunga berada di atas keranda terbuka berwarna hijau, disemayamkan di sisi barat atau tempat imam memimpin salat di masjid itu.

Para pengiring bergiliran salat jenazah selama beberapa saat, sedangkan ratusan ribu umat berdiri di sekeliling masjid di tengah kompleks ponpes dan tepi kanan kiri jalan menuju makam keluarga Chudlori yang jauhnya 300 meter dari ponpes.

Saat sejumlah ulama besar bergantian membacakan tahlil dengan takzim untuk Mbah Dur, tetesan demi tetesan air dari langit tipis turun di tengah terik matahari.

Semua pelayat mengangkat kedua tangan tanda, berdoa, begitu para ulama bergantian mendaras tahlil. Semua orang --tua, muda, laki-laki dan perempuan-- meneteskan air mata sebagai tanda duka mereka yang mendalam atas perginya sang ulama  besar. Banyak yang berulangkali mengusap air mata yang tak henti membasahi pipi mereka.

Tahlil mengiring perjalanan jenazah dari masjid ponpes ke pemakanan. Gus Yusuf terlihat berjalan tak jauh dari keranda kakaknya yang diusung sejumlah orang, sedangkan anak-anak dan para cucu Mbah Dur, serta keluarga besar Chudlori, berjalan agak di depan mendahului Gus Yusuf. Gerimis berubah agak deras ketika beberapa menit kemudian jenasah memasuki kompleks makam.

Beberapa kiai sepuh turut berjalan kaki mengantarkan Mbah Dur ke peristirahatan terakhirnya, sementara hujan seakan memperkuat ketakziman prosesi pemakaman sang kiai besar tersebut.

Gerimis berubah menjadi hujan cukup deras, tepat saat jenazah Mbah Dur dimasukkan ke liang lahat.

Mbah Dur mangkat dengan meninggalkan seorang istri, Nyai Nur Faizah, enam anak yakni Nasrul Arif, Akhmad Izzudin, Kuni Sa`adati, Nur Kholida, Linatun Nafisah, dan Zaimatus Sofia, serta lima cucu.

"Hal utama yang menonjol dari beliau adalah kearifan dan kebijakanannya. Itu muncul karena beliau alim ulama besar. Ulama dengan ilmu dan wawasan luas," kata Lukman kepada ANTARA.

Ia mengatakan, Mbah Dur selalu datang membawa solusi bijak untuk berbagai soal pelik menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di depan pelayat, Kiai Abdul Rozak yang mewakili keluarga, mengatakan, kurun waktu Mbah Chudlori dan Mbah Dur memimpin pengasuhan para santri di ponpes itu  hampir sama, yakni 33 tahun. Mbah Chudlori 1944-1977 dan Mbah Dur 1977-2011.

"Keluarga meminta bantuan doa untuk kepergian Mbah Dur, mohon maafkan segala kesalahan beliau," katanya dalam bahasa Jawa.

Selama tujuh hari berturut-turut, para santri dan keluarga akan mendaraskan doa dan tahlil demi perjalanan arwah Mbah Dur ke alam keabadian.

Kiai Nurul Huda melukiskan Mbah Dur sebagai mutu manikam, seorang kiai enerjik, kreatif, mumpuni, dan multidimensi.

"Dia lebih muda dari saya, bisa melayani kiai-kiai sepuh di mana pun, tetapi sudah dipundhut (diambil) Allah SWT. Semua tentu merasakan kehilangan yang luar biasa, tetapi kita sadar bahwa semua milik Allah, harus rela jika dipundhut," katanya.

Ia mengharapkan penerus keluarga Chudlori dan para santri melanjutkan cita-cita Mbah Dur, yang adalah guru kearifan dan kebijakan mereka. "Ambil ilmu dari tutuk (mulut) guru," katanya.

Bani Chudlori pada masa mendatang, katanya, harus semakin tangguh dengan meneladani sang guru itu.

Mbah Dur disebut Kiai Nurul Huda karena memiliki kekuatan tirakat luar biasa dengan disiplin mendidik santrinya melalui tradisi puasa setiap Senin dan Kamis, ziarah kubur para leluhur, dan rajin membaca kitab kuning.

Sugeng tindak Mbah Dur.  Selamat Jalan Mbah Dur.

M029/H-KWR

Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011