Jakarta (ANTARA News) - Bencana Gunung Merapi sudah cukup jauh berlalu, namun lahar dinginnya masih saja mengancam warga sekitar sehingga membuat mereka bisa menjadi korban ganda, baik di kala maut panas mengintai maupun yang dingin.

Dari pengamatan di lapangan di sejumlah kawasan bencana baik di wilayah Yogyakarta maupun Jawa Tengah pekan ini, ketidakpastian akan nasib para korban Merapi tergurat jelas pada wajah-wajah sedih tanpa semangat. Haruskah penderitaan mereka berkepanjangan?

"Saya dulu juga seperti penduduk yang lain, beternak. Sekarang belum tahu apa yang akan saya kerjakan," kata Parniwati (29), warga Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, ditemui saat membersihkan puing-puing dari lokasi bekas rumahnya yang porak poranda akibat letusan dan hantaman lahar panas Oktober-November lalu.

Perempuan yang tampak jauh lebih tua dari usianya yang sebenarnya itu memutuskan membersihkan lokasi rumahnya dan berniat menempatinya kembali. Ia menyatakan sudah tidak betah berada di lokasi pengungsian karena keadaan serba sulit, enak tidak enak tetap lebih enak di rumah sendiri.

"Saya membersihkan rumah saya dari puing-puing ini hanya untuk mengisi waktu saja. Tapi ya belum tahu kapan akan dibangun kembali, karena dari mana biayanya," kata Parniwati seolah bertanya kepada dirinya sendiri, karena suaminya pun hanya bolak-balik keliling bekas wilayah kampungnya mengantar turis-turis Merapi.

Tuturan perasaan senada dilontarkan Sukirman (40), warga Dusun Sidorejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, yang berterus terang harapan terbesarnya, selain tentunya kepada Tuhan, tidak lain adalah pemerintah. "Saya sangat berharap ada bantuan untuk perbaikan rumah dari pemerintah, karena hanya itu yang saya miliki," katanya.

Pria itu mengungkapkan sebenarnya hidup di pengungsian sudah cukup, makan tidak perlu membeli, namun pertanyaannya sampai kapan ia harus berada di sana? Bagaimanapun itu juga bukan yang dinamakan rumah, shelter yang akan diberikan juga masih belum selesai.

Bencana ini telah menghancurkan rumah, ternaknya mati, sekarang pun ia hanya bergantung pada pendapatan dari mengantarkan orang-orang yang ingin melihat lokasi bencana secara langsung. Profesi yang kini banyak digeluti para korban merapi, menjadi pemandu wisata turis-turis bencana di kawasan Merapi.

"Semoga pemerintah dengan segera dapat memberikan sedikit perhatian untuk kami ini, karena untuk bekerja seperti ini juga tidak akan mungkin selamanya. Saya malu kerja seperti ini, tapi bagaimana lagi cara menyambung hidup," kata Sukirman.


Ancaman Dingin

Derita akibat letusan Gunung Merapi antara 26 Oktober hingga 10 November 2010 yang sedikitnya menelan 350 jiwa penduduk sekitarnya itu pada hari-hari ini masih terus dirasakan warga.

Kementerian Pekerjaan Umum memperkirakan terdapat 140 juta meter kubik pasir dan bebatuan yang sewaktu-waktu tersapu hujan dan menjadi banjir bandang lahar dingin.

Kardjono (82), warga Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, yang dijumpai awal pekan ini, mengatakan serbuan lahar dingin ini sungguh mengerikan, datangnya tak terduga. Semua orang tidak melihat dari mana datangnya batu-batu besar itu, tiba-tiba saja sudah di depan mata.

"Saya hanya ingin mengambil barang-barang yang ada di dalam rumah, kalau untuk kembali tinggal di sini, saya masih takut karena kata orang-orang banjir ini masih akan terus berlanjut," kata pria renta tersebut, namun wajahnya menunjukkan keteguhan jiwa seorang yang penuh perjuangan hidup di masa mudanya.

Dari cerita turun temurun yang diceritakan orang tua Kardjono, pada masa kolonial dulu, sungai dekat rumahnya itu memiliki dua cabang yang satu bernama "kali Druju" dan satu lagi bernama "kali Putih." Namun, entah mengapa sungai tersebut ditutup istilah pada jaman itu "tableghan" atau diputus dan kini saat merapi meletus, sungai itu kembali menjadi dua cabang.

Tetangga Kardjono, Sastrodimedjo (70), juga dari desa yang sama, justru mengatakan bahwa banjir lahar dingin ini berbeda dari letusan panas Merapi dan orang harus lebih waspada, karena datangnya tiba-tiba. "Saya tidak mengharap apa-apa, karena ini semua kehendak yang maha kuasa, entah apa masih bisa dijadikan tempat tinggal atau tidak desa ini," katanya.

"Beberapa kali jalan itu ditutup, banyak bebatuan dan pasir yang menutup Jembatan Gempol," kata Sastrodimedjo berusaha menjelaskan dahsyatnya serbuan lahar dingin Merapi yang terjadi lebih dari 20 kali dalam waktu kurang lebih dua bulan terakhir, jalan raya utama yang menghubungan Megalang-Yogyakarta itu harus ditutup karena tertutup pasir dan bebatuan setinggi satu meter.


Terlalu Besar

Soal ancaman lahar dingin ini, Menteri PU Djoko Kirmanto dalam dialog media belum lama ini mengatakan volume lahar dingin di puncak Gunung Merapi terlalu besar, sehingga tidak mampu ditampung prasarana yang disiapkan di sungai-sungai sekitar Merapi.

Dari perkiraan volume lahar dingin di kawasan puncak Merapi yang 140 juta meter kubik itu, kemampuan redam infrastruktur (sabodam) hanya akan mampu mengatasi 20 juta meter kubik saja.

Sebenarnya pemerintah khususnya Kementerian PU telah melakukan persiapan-persiapan kemungkinan terjadinya banjir lahar dingin. Tidak hanya Merapi. Tabiat gunung api seperti Semeru, Kelud dan Merapi setiap kali meletus, baik kecil maupun besar. Pihaknya sudah melakukan tindakan mitigasi, darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Bahkan khusus untuk Merapi yang hampir rutin meletus baik kecil maupun besar antisipasi juga sudah dilakukan. Antisipasi itu adalah dibangunnya tempat-tempat pengungsian dan prasarana pendukungnya. Djoko mengatakan sudah disadari setelah selesai meletus bahaya lahar dingin pasti menyusul apabila diguyur hujan, namun letusan terakhir di luar perkiraan.

Menteri PU menjelaskan, lahar dingin berupa debu, pasir kerikil dan batu-batuan akan mengalir melalui 15 sungai (Putih, Blongkeng, Pabelan, Woro, Gendol, Boyong, Krasak, Batang, Senowo, Trising, Opak, Bebeng, Kuning, Apu dan Lamat) yang berhulu di Gunung Merapi.

Untuk itu dari tahun ke tahun secara bertahap, pihaknya sudah membangun `sabodam` untuk menampung lahar dingin, agar tidak langsung mengalir ke hilir yang bisa merusak apa saja yang dilalui.

Sampai saat ini sabodam yang sudah terbangun di 15 sungai tersebut mencapai 244 buah dengan kapasitas seluruhnya 20 juta meter kubik. Sehingga tidak mungkin bisa menampung volume lahar dingin yang besar yaitu 140 juta meter kubik dari Merapi .

Juga, kondisi palung-palung 15 sungai juga hampir penuh dengan material lahar dingin. Di beberapa lokasi bahkan menerjang permukiman penduduk, jembatan dan jalan raya. Dan inilah jawabannya mengapa derita para korban Merapi masih berkepanjangan hingga pekan ini, meski hantaman hawa panas vulkanisnya sudah menjadi cerita menyeramkan. (VFT/KWR/K004)

Oleh Oleh Vicki Febrianto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011