Surabaya (ANTARA News) - Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan, rakyat Indonesia butuh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bukan gedung baru DPR.

"Kalau pemerintah bisa mengalokasikan dana Rp1,13 triliun untuk membangun gedung baru DPR, kenapa untuk memberikan jaminan sosial kepada rakyat tidak bisa," katanya usai berpidato dalam Mimbar Rakyat di Surabaya, Rabu.

Oleh sebab itu, alotnya pembahasan pengesahan RUU BPJS bukan terletak pada kemampuan anggaran dalam APBN, melainkan faktor politis.

"Di sinilah pemerintah seharusnya menunjukkan `political will` kepada rakyat dalam pembahasan RUU ini," kata Rieke yang juga anggota Pansus RUU BPJS itu.

Ia mengemukakan bahwa Undang-Undang (UU) No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menyebutkan seluruh rakyat Indonesia, apa pun profesinya, berhak mendapatkan jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian tanpa diskriminasi dan limitasi.

Undang-undang itu juga mengamanatkan kepada Presiden untuk mengesahkan 10 peraturan pemerintah dan 11 peraturan presiden.

Namun, sampai saat ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih membuat satu Perpres, yakni tentang Dewan Jaminan Nasional (Perpres Nomor 44/2008).

Menurut dia, SJSN tidak bisa dijalankan tanpa BPJS. Namun empat BPJS yang ada saat ini, yakni PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, dan PT Asabri statusnya BUMN.

"Selama badan hukum empat BPJS itu tidak diubah, maka orientasinya adalah keuntungan. Kita tidak pernah tahu, kalau dana di Jamsostek disimpan di Bank Century, untuk beli saham PT Krakatau Steel, beli saham Garudan, dan bisnis lainnya. Rakyat juga tidak pernah mendapatkan keuntungan," katanya disambut teriakan peserta yang hadir, "Hidup Buruh!".

Mengacu undang-undang tersebut, lanjut Rieke, keempat BPJS itu harus menjalankan sembilan prinsip, yakni gotong-royong, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kewajiban, dana amanat, dan pengelolaan untuk perserta.

"Keempat badan yang ditunjuk oleh undang-undang itu harus mentransformasikan diri menjadi BPJS paling lambat lima tahun sejak disahkan. Itu berarti BPJS sudah harus ada sejak 19 Oktober 2009," katanya.

DPR periode 2009-2014 mengambil langkah membentuk RUU BPJS yang disepakati seluruh fraksi. Presiden kemudian menunjuk delapan menteri, yakni Menkeu, Menkum HAM, Menpan, Menteri BUMN, Mensos, Menkes, Menakertrans, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional.

Rapat pertama Pansus DPR untuk RUU BPJS dengan pemerintah dimulai pada 7 Oktober 2010. Namun sudah dua kali masa sidang, pembahasan "deadlock". Pemerintah menginginkan RUU BPJS hanya bersifat penetapan bukan pengaturan.

Pada 9 Februari 2011, pemerintah menyatakan secara resmi tidak akan melanjutkan pembahasan sebelum ada fatwa Mahkamah Agung bahwa RUU BPJS memang dapat bersifat penetapan sekaligus pengaturan.

"Baru kali ini ada RUU dibahas DPR dengan delapan menteri sekaligus dan masih dimintakan fatwa MA lagi," kata Rieke yang dikenal sebagai artis film layar lebar dan sinetron itu.

Ia menegaskan bahwa RUU BPJS tidak mempertentangkan kepentingan buruh dan pengusaha. "Siapa yang menjamin pengusaha tidak akan bangkrut. Dengan disahkannya UU BPJS ini, pengusaha, PNS, TNI/Polri, dan buruh juga dapat terlindungi," katanya.(*)

(T.M038/ S019)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011