Pemerintah Arab Saudi akhirnya menyerahkan kepada pemerintah Indonesia
Jakarta (ANTARA News) - Untuk pertama kalinya dalam sejarah Repubik Indonesia, pemerintah terpaksa memulangkan warga negara Indonesia/tenaga kerja Indonesia bermasalah secara besar-besaran dan bertahap dalam jumlah ribuan orang dari Jeddah, Arab Saudi.

Saat ini sekitar dua ribuan warga negara Indonesia/tenaga kerja Indonesia (WNI/TKI) bermasalah sedang dalam pelayaran pulang menuju Tanah Air dengan kapal motor Labobar milik PT Pelni setelah berangkat dari Pelabuhan Jeddah pada Jumat (22/4) tengah malam waktu setempat atau Sabtu dinihari WIB.

Pemulangan mereka merupakan tahap VII dan sebelumnya pemerintah telah memulangkan 2.073 WNI/TKI melebihi batas izin tinggal atau "overstayers" melalui enam tahap sejak 14 Februari hingga 19 Maret dengan pesawat Garuda.

Pada fase I ini pemerintah merencanakan memulangkan 5.000 WNI/TKI bermasalah dari Kota Jeddah dari sekitar 50.000 WNI/TKI bermasalah di seluruh Arab Saudi.

"Pemerintah berharap tak terulang, ke depan tak bisa terus menerus begini. Apa yang dilakukan sekarang dalam keadaan darurat," kata Menkokesra Agung Laksono.

Pemerintah tampaknya tidak ingin mempertaruhkan citra baiknya atas pemulangan WNI/TKI bermasalah secara besar-besaran itu. Kata "bermasalah" saja mengindikasikan bahwa para pekerja tersebut menjadi masalah bagi pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

Ya, mereka bermasalah antara lain karena merupakan pelanggar keimigrasian yakni melebihi batas izin tinggal (overstayers). Mengapa mereka bisa berstatus "overstayers"? Sejumlah penyebabnya adalah saat bekerja pada majikan mereka menemukan masalah seperti kabur dari majikan karena perlakuan kasar atau gaji tak dibayar, pekerjaan terlalu berat, atau ada juga yang tersangkut masalah hukum.

Belum lagi, WNI yang dari Tanah Air berangkat ke Arab Saudi untuk umrah tetapi setelah batas izin umrahnya habis, mereka justru mencari kerja atau menetap di negeri orang sehingga menjadi pendatang ilegal.

Karena tidak bisa langsung pulang ke Tanah Air lantaran tidak ada biaya, sebagian dari mereka bahkan sempat "menggelandang" di kolong jembatan Khandara, Jeddah, selama berbulan-bulan dan sebagian lagi berada di penampungan dalam jumlah yang sangat terbatas yang disediakan Konsulat Jenderal RI yang ada di Jeddah dan Riyadh. Mereka pun melebihi batas izin tinggal.

Kondisi seperti itu tentu saja mempengaruhi citra pemerintah Indonesia karena rakyatnya terkatung-katung di negeri orang.

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat mengungkapkan beberapa tahun lalu, pemerintah Arab Saudi secara periodik memulangkan WNI/TKI bermasalah atas biaya pemerintah negeri itu tetapi lama kelamaan pemerintah Arab Saudi menyadari bahwa pemulangan secara gratis itu menjadi modus para WNI/TKI.

Bahkan, katanya, per tahun pemerintah Arab Saudi bisa memulangkan ribuan WNI/TKI bermasalah secara gratis tetapi jumlahnya makin banyak dan Arab Saudi merasa keberatan bila harus terus membiayai pemulangan WNI/TKI bermasalah.

"Pemerintah Arab Saudi akhirnya menyerahkan kepada pemerintah Indonesia," kata Jumhur.

Jumhur dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR baru-baru ini menegaskan bahwa pemerintah akan memulangkan seluruh WNI/TKI bermasalah di Arab Saudi yang berjumlah sekitar 50.000 orang meskipun saat ini dana pemulangannya belum siap. Dana yang tersedia sementara ini untuk pemulangan sekitar 5.000 WNI/TKI bermasalah dari Jeddah.

Untuk itu Komisi IX DPR membentuk "Tim Khusus DPR Untuk Permasalahan TKI Di Arab Saudi" bahkan Wakil Ketua Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz selaku koordinator tim khusus bersama sembilan orang anggota tim melawat langsung ke Arab Saudi sejak 19 hingga 24 April untuk mengawasi langsung pemulangan dan mengetahui akar permasalahan tersebut.

Irgan berharap pemerintah fokus pada upaya perbaikan proses penempatan calon TKI sehingga tidak menimbulkan permasalahan di luar negeri terutama di Arab Saudi termasuk dalam perlindungan TKI.

Jumlah TKI di Arab Saudi sekitar 1,5 juta orang yang sebagian besar bekerja pada sektor informal sebagai penata laksana rumah tangga atau sopir pribadi yang hubungan kerjanya dengan majikan sangat subjektif, cenderung terisolasi atau tertutup karena selalu berada di rumah majikan selama 24 jam sehari, dan tidak terjangkau oleh peraturan ketenagakerjaan di negeri itu.

"Memang sangat riskan dalam perlindungan TKI," kata Jumhur.

Pengetatan
Pemulangan telah ditempuh pemerintah bagi WNI/TKI bermasalah itu, lalu apa selanjutnya? Moratorium atau penghentian penempatan TKI ke Arab Saudi seperti halnya yang sedang berlaku di Malaysia saat ini?

Jumhur menyatakan pemerintah sedang mengkaji moratorium penempatan TKI namun sebelum moratorium itu diputuskan, pemerintah melakukan berbagai pengetatan dalam penempatan calon TKI ke luar negeri.

Dalam upaya tertib administrasi, katanya, bagi setiap TKI yang berangkat bekerja ke luar negeri wajib terdaftar, menandatangani perjanjian penempatan, mendapatkan rekomendasi paspor dari Disnaker asal calon TKI melalui sistem dalam jaringan (online).

"Selain itu, wajib memiliki kartu tenaga kerja luar negeri," katanya.

Selama melaksanakan pengetatan, katanya, BNP2TKI mampu meningkatkan penempatan TKI formal dari 2.097 laki-laki dan 1.247 wanita pada periode Januari - Maret 2010, menjadi 5.726 laki-laki dan 3.139 wanita pada Januari - Maret 2011.

Sementara penempatan TKI informal menurun dari 4.219 laki-laki dan 49.659 wanita pada Januari - Maret 2010 menjadi 863 laki-laki dan 33.467 wanita pada Januari - Maret 2011.

Menurut Jumhur, keberhasilan pengetatan itu tidak terlepas dari peran aktif seluruh instansi terkait, khususnya peran aktif dari Disnaker provinsi dan kabupaten/kota.

Jumhur pun menyorot pelatihan para calon TKI yang ada di balai-balai latihan kerja luar negeri (BLKLN) karena menurut dia jantung persoalan TKI ada di tempat itu.

Ia bahkan melakukan survei kendali alokasi penempatan TKI dari BLKLN sejak awal tahun hingga 10 April lalu dan ditemukan hasil bahwa BLKLN yang memiliki klasifikasi sangat baik ternyata hanya satu persen dari 271 BLKLN di seluruh tanah air.

Ia menyebutkan dari 271 BLKLN, sebanyak 237 BLKLN (87,45 persen) berhasil disurvei baru-baru ini sedangkan 34 BLKLN (12,55 persen) tidak didapat datanya atau tidak berhasil disurvei karena alamat BLKLN tidak dapat ditemukan, tidak beroperasi lagi atau tutup.

Selain itu,, sudah disurvei tetapi instrumen tidak kembali, tidak aktif, dan tidak bisa dihubungi atau tidak menerima tim survei.

Dari jumlah BLKLN yang sudah disurvei itu, katanya, sebanyak satu persen atau dua BLKLN masuk dalam klasifikasi sangat baik, 25 persen atau 59 BLKLN baik, 31 persen atau 74 BLKLN cukup, 35 persen atau 83 BLKLN kurang, dan delapan persen atau 19 BLKLN mendapat predikat buruk.

Ia menyebutkan dari 271 BLKLN, sebanyak 152 BLKLN melakukan pelatihan bagi para calon TKI informal atau penata laksana rumah tangga yang akan ditempatkan ke berbagai negara di kawasan Timur Tengah dan 119 BLKLN melakukan pelatihan bagi para calon TKI yang akan ditempatkan ke berbagai negara di kawasan Asia Pasifik.

Dari 271 BLKLN itu, sebanyak 122 BLKLN berada di DKI Jakarta dan 149 BLKLN berada di sembilan provinsi lain di luar Jakarta.

Kepala BNP2TKI menegaskan pemerintah sedang membenahi pelatihan TKI dengan mewajibkan BLKLN menyelenggarakan pelatihan minimal 200 jam, absensi sehari dua kali, dan peningkatan kemampuan dan keterampilan calon TKI, serta penilaian kualifikasi calon TKI.

"Tanpa menempuh itu semua, maka secara sistem, BNP2TKI akan mengunci sehingga calon TKI tak bisa diberangkatkan," katanya seusai membuka Munas V Asosiasi Pelaksana Pelatihan TKI (AP2TKI) pada Jumat (22/4).

Ia mengingatkan pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang peningkatan kualitas TKI agar lebih bermartabat dan mengatasi berbagai persoalan yang ada.

Bahkan, katanya, Presiden menyatakan pertimbangan moratorium atau penghentian sementara untuk menempatkan TKI informal penata laksana rumah tangga sangat terbuka bila tak ada peningkatan kualitas calon TKI yang dipersiapkan.

Ia berharap balai-balai latihan kerja luar negeri memperbaiki pelatihan bagi para calon TKI agar benar-benar memenuhi standar kualitas TKI yang benar-benar memiliki kemampuan dan keterampilan kerja.

Jumhur menyatakan BNP2TKI bakal memberi sanksi bagi pengelola BLKLN yang tidak mampu melakukan pelatihan bagi para calon TKI secara memadai, terutama bagi BLKLN yang masuk dalam klasifikasi kurang atau buruk.

Sanksi tersebut, katanya, berupa keharusan untuk memperbaiki dengan tenggang waktu tertentu atau pelarangan beroperasi.

Terobosan yang dilakukan oleh BNP2TKI itu disambut oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz.

Irgan menyatakan BNP2TKI memang harus melakukan terobosan untuk melakukan pembenahan pelayanan TKI baik pada prapenempatan, saat penempatan, atau purnapenempatan, khususnya untuk TKI sektor informal atau penata laksana rumah tangga.

Ia berharap BNP2TKI lebih kuat dan berani dalam menegakkan aturan agar tidak terjadi pelanggaran maupun penciptaan proses penempatan TKI yang menimbulkan masalah oleh berbagai pihak seperti dari para pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS).
(B009/Z002)

Oleh Budi Setiawanto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011