...kalau dasar sungai dikeruk, akhirnya sungai itu akan melebar karena tebingnya berguguran,"
Purwokerto (ANTARA News) - "Di tepinya Sungai Serayu, waktu fajar menyingsing, pelangi merona warnanya, nyiur melambai-lambai, warna air sungai nan jernih, beralun berkilauan, desir angin lemah gemulai, aman tentram dan damai..."

Kutipan lirik lagu keroncong "Di Tepinya Sungai Serayu" karya R Sutedjo ini dapat menggambarkan kondisi Sungai Serayu ketika lagu tersebut dibuat.

Akan tetapi saat ini, kondisi Sungai Serayu yang panjangnya mencapai 151 kilometer yang melintasi Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap, Jawa Tengah, tidaklah seperti dulu lagi.

Kini, air Sungai Serayu tampak keruh akibat adanya sedimentasi di wilayah hulu yang berada di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara.

Sementara di bagian tengah dan hulu, mengalami kerusakan akibat penambangan pasir.

Pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) "Telapak", Sungging Septivianto mengatakan, berbagai permasalahan saat ini muncul di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu yang berada di bawah pengawasan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu-Opak, Yogyakarta.

"Ini diketahui dari kegiatan Ekspedisi Susur Serayu yang kami gelar pada tahun 2010 silam," kata pria yang akrab dipanggil dengan nama Jalu saat ditemui di Purwokerto, Sabtu (23/4).

Dalam hal ini, kata dia, permasalahan yang muncul di wilayah hulu DAS Sungai Serayu yang berada di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara adalah deforestasi dan degradasi hutan akibat budi daya sayuran.

Menurut dia, aktor yang terlibat dalam masalah ini di antaranya investor dan perusahaan besar seperti PT Indofood, Perum Perhutani, pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten), broker dan pedagang lokal, serta petani lokal.

Sementara di wilayah tengah dan hilir DAS Sungai Serayu di Kabupaten Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap, terjadi pencemaran sungai dan erosi tebing sungai akibat penambangan pasir.

"Aktor yang terlibat dalam masalah ini di antaranya perusahaan tepung tapioka, perusahaan tambang pasir, BBWS Serayu-Opak, pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten), serta penambang lokal," katanya.

Menurut dia, permasalahan tersebut berdampak pada bendungan PLTA Garung di Kabupaten Wonosobo dan Mrica di Kabupaten Banjarnegara mengalami sedimentasi yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan terganggunya sistem pembangkitan listrik untuk interkoneksi jaringan Jawa-Madura-Bali (Jamali).

Selain itu, kata dia, petani pemilik lahan di sepanjang Sungai Serayu mengalami kerugian akibat erosi yang terus-menerus.

"Bahkan, konsumen PDAM Cilacap terancam kesehatannya akibat pencemaran dari pabrik tapioka. PDAM Cilacap memanfaatkan air Sungai Serayu untuk diolah sebagai air minum," katanya.

Oleh karena itu, kata Jalu, perlu adanya solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, antara lain pengendalian pasar sayuran dan perbaikan teknik budi daya yang lebih bertanggung jawab.

Menurut dia, perlu dikembangkannya "Community Logging" atau model pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan adil secara ekonomi.

Selain itu, kata dia, harus dilakukan pemantauan secara rutin terhadap pabrik tapioka dan penegakan hukum yang tegas jika terjadi pelanggaran.

"Solusi lain, yakni membuat sistem pengendalian penambangan pasir melalui pembangunan model tambang yang bertanggung jawab, serta membuat forum DAS sebagai sarana koordinasi dan komunikasi para pihak untuk memecahkan permasalahan di sepanjang Sungai Serayu," katanya.

Ia mengatakan, deforestasi akibat penanaman sayuran di Dataran Tinggi Dieng tidak lepas dari faktor pasar.

Dengan demikian, kata dia, perlu adanya intervensi terhadap pengendalian sayuran dari aspek pasar yang hingga saat ini belum dilakukan.

Kendati demikian, dia mengatakan, sejumlah upaya penyelamatan fisik di bagian hilir DAS Serayu mulai dilaksanakan oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara.

Menurut dia, salah satu upaya yang dilakukan di bagian hilir Sungai Serayu adalah reboisasi, antara lain melalui pengembangan tanaman eucalyptus.

"Ini dilakukan sebagai upaya untuk mengubah kebiasaan petani di Dataran Tinggi Dieng menanam sayuran khususnya kentang," katanya.

Secara terpisah, anggota Dewan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Tengah, Eddy Wahono mengatakan, permasalahan sungai tidak semata-mata menjadi tanggung jawab dari dinas karena lebih erat pada paradigma masyarakat.

"Peran dari dinas, bukan hanya memperbaiki bentuknya (bentuk sungai, red.) saja, tetapi paradigma masyarakatnya itu sendiri," katanya.

Dalam hal ini, kata dia, harus ada implementasi pembentukan Dewan Sumber Daya Air Provinsi maupun Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA) di daerah.

Akan tetapi, lanjutnya, implementasi pembentukan Dewan Sumber Daya Air Provinsi maupun TKPSDA hingga saat ini masih berjalan setengah-setengah karena unsur-unsur masyarakat masih ditinggalkan oleh dinas.

"Sementara dinas sendiri, masih bersikap selaku birokrat, bukan pelayan masyarakat. Dengan demikian, peran dinas dalam rangka perbaikan sungai tidak mungkin akan terwujud karena masyarakatnya belum terbentuk," katanya.

Khusus untuk penanganan Sungai Serayu di Kabupaten Banyumas, dia mengatakan, hal itu sudah cukup bagus karena saat ini telah terbentuk Forum Masyarakat Pengelolaan Sumber Daya Air (Formas PSDA) Serayu Hilir.

Akan tetapi, kata dia, di kabupaten lainnya seperti Cilacap tampak masih terjadi pembiaran terhadap penambangan liar.

"Kita lihat di Cilacap, di sana ada penambangan-penambangan liar yang sepertinya dibiarkan karena dari unsur-unsur dinas tidak sering mengadakan rapat koordinasi sehingga ada daerah tertentu yang dengan `alih-alih` izin penampungan atau penimbunan bahan galian C, justru digunakan sebagai sentra penggalian bahan galian C," kata dia yang juga Ketua Formas PSDA Serayu Hilir serta anggota TKPSDA Serayu-Bogowonto.

Oleh karena itu, dia mengatakan, perlu adanya pemberdayaan masyarakat dalam pengawasan Sungai Serayu yang dapat dilakukan melalui swakelola.

Dalam hal ini, dia mencontohkan, swakelola Sungai Serayu di Desa Piasa, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, yang telah dilaksanakan sejak tahun 2010 dengan melibatkan Formas PSDA Serayu Hilir.

Kendati demikian, dia mengakui, di bagian hilir Sungai Serayu khususnya dari Bendung Gerak Serayu di Kabupaten Banyumas hingga muara di Kabupaten Cilacap masih banyak kerusakan akibat paradigma masyarakat yang belum bisa diubah.

Menurut dia, hal itu disebabkan tidak adanya ketersediaan pasir di Sungai Serayu yang berasal dari Gunung Slamet.

"Pasir yang ditambang para penambang berasal dari tebing-tebing sungai yang berguguran akibat pengerukan di dasar sungai. Kita tentu tahu, kalau dasar sungai dikeruk, akhirnya sungai itu akan melebar karena tebingnya berguguran," katanya.

Dia mencontohkan penambangan di Desa Losari, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, hingga muara Sungai Serayu.

Menurut dia, penambangan tersebut telah mengakibat lebar Sungai Serayu menjadi 150 meter karena tebing-tebingnya berguguran.

Oleh karena itu, kata dia, perlu adanya ketegasan penegakan hukum dan pencarian solusi untuk mengubah paradigma.

"Kita tidak bisa serta-merta melarang penambangan tanpa adanya solusi karena dapat berdampak munculnya pengangguran," katanya.

Selain itu, lanjutnya, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Tengah harus segera menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) khusus untuk sungai.

Menurut dia, RTRW sungai sangat diperlukan sehingga penataan dan pemanfaatan sungai, khususnya Sungai Serayu.

Dengan demikian, kata dia, akan diketahui batasan-batasan pemanfaatan sungai jika ada investor yang masuk.

Dalam hal ini, lanjutnya, Serayu sebenarnya memiliki simpul-simpul yang dapat dimanfaatkan sebagai penopang otonomi daerah namun terganjal Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.

Oleh karena itu, dia mengatakan, pemerintah diharapkan dapat menyederhanakan PP Nomor 6 Tahun 2006.

"Mengapa rencana Serayu River Voyage (SRV) terhenti? Ini karena terganjal PP Nomor 6/2006, di mana segala sesuatu barang milik pemerintah apabila akan dipergunakan oleh pihak ketiga harus seizin Menteri Keuangan yang akan membentuk badan layanan umum (BLU)," kata Eddy Wahono yang juga Ketua Paguyuban Masyarakat Pariwisata Serayu (PMPS) Kabupaten Banyumas.

Menurut dia, hingga saat ini BLU belum terbentuk sehingga rencana pengembangan pariwisata SRV di Bendung Gerak Serayu pun terbengkalai.

"Padahal, embrio pariwisata telah terbentuk. Membentuk embrio pariwisata itu sangat sulit," katanya.

Sementara itu, Kepala Bidang Sungai dan Air Baku pada Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (SDA dan BM) Kabupaten Banyumas, Ariono Purwanto mengatakan, Sungai Serayu merupakan salah satu sungai strategis nasional sehingga kewenangan pengelolaannya di tangan pemerintah pusat.

"Akan tetapi, dalam pelayanan ke masyarakat, kita mengalami kendala-kendala, di antaranya perizinan pemanfaatan Sungai Serayu, baik untuk tambang atau untuk apa. Itu harus melalui rekomendasi dari Yogyakarta (BBWS Serayu-Opak, red.)," katanya.

Menurut dia, jika hal itu dapat berjalan cepat, tidak menjadi masalah namun kalau terlambat justru menjadikan masalah.

Selain itu, dia mengatakan, pihaknya juga mengalami kendala dalam penanganan penambangan liar yang mengakibatkan terjadinya kerusakan di Sungai Serayu.

"Dalam hal menertibkan penambang liar, di satu sisi Sungai Serayu bukan kewenangan kita, tetapi di sisi lain kita ditugasi. Di sisi lain, masyarakat alasannya perut. Jadi itu dilematis bagi perangkat pemerintah daerah untuk mengatasi masalah tersebut," katanya.

Kendati demikian, dia mengatakan, pihaknya akan mencoba merangkul TKPSDA, Formas PSDA Serayu Hilir, maupun organisasi nonpemerintah untuk bersama-sama mengelola Sungai Serayu.

Menurut dia, Dinas SDA dan BM Kabupaten Banyumas saat ini juga telah berupaya mempersempit ruang gerak para penambang liar terutama di sekitar Bendung Gerak Serayu hingga perbatasan Kabupaten Banyumas dan Cilacap di Desa Losari, Kecamatan Rawalo, yang mengalami kerusakan parah.

"DAS Serayu yang paling parah berada di bawah bendung gerak sampai Losari karena di situ ada jembatan nasional dan bendung geraknya itu sendiri, sehingga apabila terjadi penurunan, akan terjadi bencana," kata dia menegaskan.
(KR-SMT/J006)

Pewarta: Sumarwoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011