Jakarta (ANTARA News) - Kalangan pemerhati Hak Kekayaan Inteletual (HKI), pemegang merek dan penyidik menilai perubahan proses hukum terhadap penanganan pelanggaran HKI dengan hanya berdasar kepada pengaduan justru semakin mempersulit pemberantasan pemalsuan atau pembajakan.

"Akan ada beberapa kendala jika pemberantasan pemalsuan atau pembajakan itu didasarkan kepada delik aduan," kata pemerhati Hak Kekayaan Intelektual Henry Sulistyo Budi pada Talk Show "Ketika Harus Memilih Asli vs Palsu/Bajakan" di Jakarta, Kamis.

Saat ini ada rencana untuk mengubah delik biasa menjadi delik aduan dalam proses pemberantasan pelanggaran hak kekayaan intelektual. Perubahan itu, kata Henry, justru akan semakin menjauhkan dari tujuan semula yang pemberantasan pelanggaran HKI.

Saat ini, katanya, polisi bisa langsung melakukan pemberantasan pelanggaran HKI tanpa adanya aduan. Hanya saja diakuinya, mekanisme ini belum berjalan optimal. "Delik aduan akan menjadi kendala gerakan untuk membasmi pelanggaran HKI," katanya.

Ia mencontohkan seorang pencipta lagu atau pemegang hak merek harus melaporkan ke polisi jika menemukan pelanggaran HKI. Hal ini, menurut dia, akan menyulitkan para korban.

"Pasar gelap ini harus disikapi serius. Kalau sistemnya menjadi delik aduan dan harus mengadu ke daerah-daerah apa ini bisa dilakukan oleh para korban," katanya.

Seorang penyidik dari Mabes Polri juga menyatakan hal sama. Perubahan dari delik biasa menjadi delik aduan akan membuat polisi bersikap pasif dan menunggu. "Polisi tidak bisa melakukan secara proaktif aktif untuk memberantas pelanggaran tersebut," katanya.

Sedangkan perwakilan Business Software Alliance (BSA) Indonesia, Donny A. Sheyoputra mengakui bahwa  dukungan dari parat hukum belum maksimal dalam pemberantasan pelanggaran HKI ini. "Biasanya ini terjadi karena adanya persepsi yang berbeda," katanya.

BSA yang mewakili para pemilik merek software ternama di dunia, katanya, aktif melakukan pemberantasan HKI ini bersama dengan kepolisian. "Polisi biasanya meminta kita mendampingi mereka untuk melakukan pemberantasan HKI," katanya.

Diakuinya salah satu masalah yang dihadapi aparat hukum adalah sulit untuk membedakan produk ilegal dan yang asli.

Menurut Henry, tidak ada terapi tunggal untuk menghadapi masalah pelanggaran HKI ini. Ia juga menyayangkan belum ada perubahan substansial dalam penanganan HKI ini meski secara legal formal aturan yang ada sudah cukup.

Saat ini, katanya, perdebatan yang sering muncul justru kepada masalah-masalah yang tidak substansial seperti istilah Hak Kekayaan Intelektual yang juga menjadi isu 25 tahun lalu. "Presiden juga masih pertanyakan istilah ini. Ini tdk substantif, " katanya.
(ANT)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011