Jakarta (ANTARA News) - Fenomena la nina memang berlangsung sejak Juli 2010 hingga hampir pertengahan tahun 2011, la nina bukanlah pemicu banjir tapi hanya sebagai penanda musim kemarau yang basah, sehingga banjir bandang seperti di Jakarta tahun 2007 tidak terjadi.

"La nina dan el nino di Samudra Pasifik hanya berpengaruh pada musim kemarau. Demikian pula kondisi iklim regional lainnya Indian Ocean Dipole (IOD) di Samudra Hindia. Karena pengaruh di musim hujan lebih besar dari tiga faktor lainnya," kata Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dr Edvin Aldrian kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.

Edvin Aldrian menyebutkan banjir bandang seperti yang terjadi pada 1996, 2002, dan 2007, bisa dideteksi lebih dini melalui fenomena cold surge (angin Siberia) dan MJO (maden-julian oscillation) yang biasanya datang satu atau dua minggu sebelumnya.

Cold surge merupakan massa udara dingin yang terbawa oleh sirkulasi angin utara-selatan (meredional) akibat gangguan tekanan tinggi di kawasan Siberia mengalir ke kawasan ekuator dan ke selatan melalui pesisir utara Jawa.

Cirinya di bagian utara (Jepang, Hongkong) sangat dingin bahkan muncul salju, tapi udara di Sumatera dan Jawa kering.

Sedangkan MJO merupakan gangguan atmosfer dalam bentuk osilasi gelombang yang mengalir dari barat ke timur dengan periode 30-50 harian. Periode MJO basah yang muncul secara bersamaan dengan cold surge harus diwaspadai, tambahnya.

Selain itu, munculnya vortex atau pusaran massa udara seperti bibit siklon di barat daya Jawa yang biasa muncul pada bulan Januari-Februari akan menarik angin Siberia (cold surge) ke selatan lebih cepat dan ikut memperbesar curah hujan di kawasan pesisir Jawa secara simultan.

"Ini telah menambah besar banjir yang terjadi pada 2007 lalu, namun pada 2011 vortex tidak muncul. Jadi pada masa puncak banjir Januari dan Februari 2011 ini selain cold surge-nya tidak kuat, juga MJO tidak sedang dalam masa aktif dan tak ada vortex. Sekarang puncak banjir juga sudah lewat," kata Edvin Aldrian.

La nina, lanjut dia, bukan faktor penting pemicu banjir, apa lagi la nina saat ini sudah mulai melemah.

Namun la nina yang mengakibatkan kemarau basah yang panjang diakui pakar lain dari sisi ekosistem telah menyebabkan gangguan, antara lain berkembangnya ulat bulu secara tak terkendali di sejumlah daerah di Indonesia.
(D009/A011)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011