dulu masyarakat menggunakan pakaian tradisional sebagai ciri budaya lokal
Ambon (ANTARA) - Museum Siwalima Provinsi Maluku menghimpun rekomendasi untuk tradisi berbusana tradisional daerah dengan menggelar diskusi terpumpun "Budaya Bapake", Selasa, guna melestarikan sejarah dan kebudayaan lokal sebagai ciri identitas masyarakat.

Diskusi dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadisdikbud) Provinsi Maluku Insun Sangaji, menghadirkan antropolog Prof Hermien Soselisa, desainer fasion Elfira Hehanussa dan Audra T Pattiasina, pendiri komunitas Jujaro sebagai narsumber.

Narasumber lainnya adalah pakar hukum tata negara dari Universitas Pattimura (Unpatti) Jimmy J Pietersz, Ketua Program Studi Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unpatti Semmy Touwe dan budayawan Maluku Florence Sahusilawane.

Kadisdikbud Provinsi Maluku Insun Sangaji mengatakan cara berpakaian telah menciptakan suatu aturan atau tanda yang menunjukkan pesan yang diberikan oleh busana seseorang dan bagaimana busana tersebut dikenakan. Pesan dari cara berpakaian adalah sesuai jenis kelamin, pekerjaan, kelas sosial, suku bangsa, agama, tradisi, status perkawinan, usia dan lain sebagainya.

Seiring berkembangnya arus globalisasi dan modernisasi, saat ini masyarakat Maluku hampir kehilangan kebudayaan sendiri, terutama di kalangan kaum remaja karena mereka menganggap budaya yang dimiliki bangsa sendiri kuno dan tidak sesuai zaman, salah satunya dalam cara berpakaian.

Baca juga: Museum Siwalima pikat pengunjung lewat kreativitas tradisional

Baca juga: Museum Siwalima hidupkan kecintaan pada permainan tradisional

Berkembangnya teknologi informasi juga mengakibatkan masyarakat lebih mudah dan luas dalam mengakses tentang gaya berbusana dan menirunya, lalu mengabaikan norma-norma yang telah diatur oleh leluhur sejak bertahun-tahun silam, sehingga lambat laun nilai-nilai budaya akan hilang tergerus masa.

"Kalau dulu masyarakat menggunakan pakaian sederhana atau tradisional sebagai ciri budaya lokal, saat ini kita cenderung menggunakan pakaian yang menirukan gaya berpakaian orang barat, lebih terbuka dan kadang menunjukkan bagian-bagian tubuh yang seharusnya disembunyikan," kata Insun Sangaji.

Senada dengan Kadisdikbud, Kepala Museum Siwalima Jean Esther Saiya mengatakan pemahaman budaya bapake atau budaya berbusana di Maluku semakin luntur bagi generasi sekarang semakin luntur, karena kurangnya transfer nilai dari orang tua, sehingga penerapan cara berpakaian tradisional dimodifikasi dan dipadankan dengan tidak semestinya.

Sebagai lembaga yang menyimpan koleksi busana tradisional Maluku, Museum Siwalima, ujar Jean, menghimpun rekomendasi mengenai budaya berbusana melalui diskusi terpumpun untuk diajukan kepada Disdikbud Provinsi Maluku, Badan Perencanaan Daerah (Bapeda), Bapenda dan DPRD Provinsi agar bisa dibahas dan dijadikan sebagai peraturan daerah tentang budaya bapake.

"Kegiatan ini dibuat karena kegelisahan kita bersama, sebagai instansi yang punya koleksi pakaian adat Maluku, kami harus informasikan kepada para pengunjung yang bukan saja dari generasi tua tapi lintas generasi," ucap Jean.

Dikatakannya lagi, usai menghimpun rekomendasi, Museum Siwalima akan melakukan survei pakaian adat Maluku, baik dari sejarah perkembangannya, arti dari simbol-simbol yang digunakan, dan bagaimana proses akulturasi budaya yang membuat nilai-nilai tergerus.

Hasil survei tersebut akan dibuat menjadi satu kajian untuk menerbitkan buku tentang budaya bapake, guna memperkaya literatur yang sudah ada di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Maluku, dan upaya mengusulkan pakaian adat Maluku sebagai benda cagar budaya nasional Direktorat Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Baca juga: Museum Siwalima dan MuMa jalin kerja sama promosi warisan budaya

Baca juga: Museum Siwalima tampilkan pameran temporer sejarah perjuangan

Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021