Jakarta (ANTARA) - Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 tentang Kejaksaan Republik Indonesia memungkinkan pihaknya untuk mengembangkan kesehatan yustisial guna mengefektifkan proses penegakan hukum.

“Ini menjadi salah satu poin, di mana permasalahan kesehatan rohani dan jasmani tersangka atau terdakwa sering dijadikan alibi untuk menunda proses penegakan hukum. Hal ini menjadi celah yang dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk menunda-nunda pemeriksaan,” kata Burhanuddin.

Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika memberi pidato kunci dalam webinar bertajuk “Mengangkat Marwah Kejaksaan, Membangun Adhyaksa Modern” yang disiarkan secara langsung di platform Zoom Meeting, dipantau dari Jakarta, Rabu.

Baca juga: Jaksa Agung: UU Kejaksaan baru kedepankan keadilan restoratif

Penundaan proses penegakan hukum akibat dalih yang menyangkut permasalahan kesehatan rohani dan jasmani tersangka atau terdakwa mengakibatkan proses penegakan hukum tidak berjalan dengan efektif dan efisien.

Oleh karena itu, Burhanuddin menambahkan Kejaksaan wajib menyelenggarakan kesehatan yustisial dalam bentuk pembangunan atau tata kelola rumah sakit Adhyaksa yang dapat mendukung penegakan hukum secara efektif dan efisien.

Kewenangan untuk menyelenggarakan kesehatan yustisial tercantum dalam pasal tambahan, yakni Pasal 30C yang menguatkan kewenangan Kejaksaan untuk menyelenggarakan kegiatan penelitian, pengembangan hukum, statistik kriminal, dan kesehatan yustisial Kejaksaan, serta pendidikan akademik, profesi, dan kedinasan.

Baca juga: Panja DPR tambahkan kewenangan jaksa pada RUU Kejaksaan

Selain itu, Burhanuddin juga menjelaskan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Kejaksaan yang telah disepakati oleh DPR memberi kewenangan kepada Kejaksaan untuk memulihkan aset melalui tambahan pasal, yakni Pasal 30A.

Pasal 30A memberi wewenang kepada Kejaksaan untuk melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengambilan aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak.

“Keberadaan Pusat Pemulihan Aset memiliki legitimasi yang kuat melalui undang-undang ini,” kata Burhanuddin.

Baca juga: Komisi III dalami wewenang jaksa terkait HAM berat di RUU Kejaksaan

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021