Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) menilai telah terjadi pergeseran pemahaman dan implementasi atas nilai-nilai luhur Pancasila akibat berbagai pengaruh ideologi dan "information communication technology".

"Sehingga, berdampak pada keresahan masyarakat, khususnya terhadap persatuan dan kesatuan bangsa," kata Gubernur Lemhannas Budi Susilo Supandji di sela-sela memperingati Hari Lahirnya Pancasila "Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila Guna Memantapkan Persatuan dan Kesatuan Melalui Forum Dialog Antar Komponen Bangsa dalam rangka Ketahanan Nasional di Lemhannas, di Jakarta, Selasa.

Oleh karena itu, Lemhannas terus berperan aktif dalam menyiapkan bahan ajaran dan pola pelatihan bagi fasilitator.

"Diharapkan proses pembelajaran Pancasila melalui forum dialogis antarkomponen bangsa dapat dilaksanakan secara holistik dan integral, serta berkesinambungan," katanya.

Dirinya menambahkan kesepakatan metode dialogis antarkomponen bangsa merupakan suatu metode tepat guna peningkatan peran masyarakat memahami nilai-nilai luhur Pancasila di tengah keluarga, komunitas sosial, serta proses pembelajaran Pancasila melalui pendikan formal, nonformal dan informal.

Dalam diskusi itu, kata Budi, difokuskan pada pengembangan metode dialogis antarkomponen bangsa untuk menemukan pola pemantapan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang berakar pada budaya dari berbagai suku bangsa yang dihadapkan pada tantangan bangsa yang semakin kompleks.

Lemhannas berharap semua komponen bangsa dapat memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai usaha bangsa Indonesia untuk memelihara, melestarikan, dan mengintegrasikan segala unsur kekuatan nasional atas dasar budaya bangsa dalam mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Sebelumnya, sejarawan Anhar Gonggong, mengatakan, sejak pemerintahan tahun 1945 hingga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono belum ada satu pemerintah yang menjalankan Pancasila secara baik.

"Itu fakta historis. Dari tahun 1945 hingga saat ini tidak ada," kata Anhar, yang juga Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia, dalam diskusi tersebut.

Ia menyebutkan, pada masa Soekarno posisi Pancasila sebagai dasar negara, alat persatuan bangsa Indonesia "tersingkir" oleh ideologi baru, yakni Nasionalisme, Agama, dan Komunis (Nasakom).

Pada masa Soeharto, yakni Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai ideologis yang harus menadi orientasi pegangan dalanm kehidupan bersama dan membentuk lembaga non-departemen, BP7 yang bertugas melakukan penataran P-4.

Namun, ia menilai, dalam realisasinya penataran ini hanya bersifat menceramahi dan peserta hanya bersifat mendengar, sehingga dinilai tidak efektif dalam menjalankan Pancasila.

Sementara itu, ia pun mengemukakan, masa BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, periode kepemimpinnya tidak berlangsung lama, sehingga tidak maksimal dalam menjalankan Pancasila.

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lanjut Tenaga Profesional bidang Sejarahan Lemhannas itu, Presiden SBY melakukan amandemen UUD 1945 dan anggota legislatif dinilai tidak Pancasilais karena akan membangun gedung baru DPR, dimana masih banyak masyarakat Indonesia dari kalangan miskin.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011