Sebaiknya semua data dan informasi dibuka seterang-terangnya. Rencana pembangunan gedung DPD jelas bertentangan dengan aspirasi publik saat ini dan kondisi negara yang sedang mengalami krisis keuangan.
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengingatkan Dewan Perwakilan Daerah untuk mengedepankan transparansi kepada publik terkait pembanguna gedung perwakilan di 33 provinsi dengan biaya Rp823 miliar.

Ray kepada pers di Jakarta, Rabu, mengemukakan ada dugaan penjelasan pimpinan DPD RI berbeda dengan kenyataan di lapangan.

"Jika benar informasi bahwa gedung DPD sudah dibangun di daerah seperti Sulawesi Utara dan NTT, sementara Wakil Ketua DPD Laode Ida mengatakan proses perencanaan belum selesai, maka sudah bisa dikatakan melakukan pembohongan publik," katanya.

Dia mengatakan, pernyataan Laode Ida bahwa DPD belum memulai sama sekali proses pembangunan gedung bahkan perencanaan belum dilakukan, berbeda dengan kenyataan di lapangan dimana sudah dimulai proses pembangunan dengan peresmian gedung perwakilan tersebut dan peletakkan batu pertama seperti di NTT.

"Pernyataan Laode bisa dikatakan sebagai kebohongan publik dan itu ada aturan perundangannya sebagai pejabat publik," ujar Ray.

Menurut Ray, tidak ada jalan lain selain membuka seluas-luasnya data mengenai rencana pembangunan gedung tersebut dengan kondisi di lapangan.

"Karena La Ode bilang masih dalam tahap perencanaan sementara faktanya berbeda, maka tentunya hal ini harus konfrontir. Jangankan proses pembangunan, angkanya saja belum disetujui, kok sudah mulai membangun," katanya.

Ia mengharapkan Laode mau membuka seterang-terangnya data mengenai rencana pembangunan gedung itu dan tujuan serta maksud sebenarnya. Saat ini banyak sekali data dan informasi yang "berseliweran".

"Sebaiknya semua data dan informasi dibuka seterang-terangnya. Rencana pembangunan gedung DPD jelas bertentangan dengan aspirasi publik saat ini dan kondisi negara yang sedang mengalami krisis keuangan," katanya.

Mengenai klaim DPD RI bahwa sudah mendapatkan dukungan publik seperti dari pemerintah daerah maupun DPRD di daerah, Ray mengatakan, dukungan lembaga eksekutif dan legislatif di daerah tidak bisa diklaim sebagai dukungan publik. Eksekutif maupun legislatif di daerah pasti mendukung pembangunan terutama yang bersifat fisik seperti pembangunan gedung DPD tersebut.

"DPR maupun DPD memiliki alasan untuk membangun yang sama, yaitu UU maupun renstra yang nilainya setara. Tapi itu putusan politik. Pertanyaannya apakah alasan kedua lembaga itu membangun atas dasar aspirasi publik, saya meragukannya karena dari pooling-pooling yang dilakukan, publik menolak pembangunan-pembangunan seperti itu," katanya.

Menurut dia, kalau ditanyakan gubernur, bupati dan wali kota pasti mendukung pembangunan terutama yang bersifat fisik. "Jadi jangan asal mengklaim dukungan publik," katanya.

Membantah

Sebelumnya, Wakil Ketua DPD La Ode Ida membantah telah melakukan kebohongan publik.

Dia juga membantah telah menolak rencana pembangunan gedung DPR beberapa waktu lalu. Dia sadar tidak memiliki kewenangan untuk melarang DPR membangun gedung baru.

Ia hanya mengatakan bahwa kalau rakyat tidak menghendaki, DPR sebaiknya menghentikan rencana pembangunan gedung itu. "Saya tidak pernah menentang rencana pembangunan gedung DPR itu. Coba mana bukti rekaman dimana saya mengatakan hal itu. Saya hanya mengatakan kalau memang rakyat tidak mendukung maka sebaiknya jangan dibangun. Terbukti rakyat tidak mendukung `kan," ujar Laode.

Ia juga mengatakan bahwa rencana pembangunan gedung DPD berbeda dengan rencana pembangunan gedung DPR. Menurut Laode, gedung DPR ditolak rakyat, sementara gedung perwakilan DPD didukung rakyat.

"Kalau gedung DPR `kan jelas ditolak rakyat, sementara gedung perwakilan DPD didukung rakyat. Jelas kami didukung rakyat, semua pemerintah daerah, DPRD mendukung kami. Bahkan ada satu daerah yang benar-benar meminta agar gedung perwakilan kami itu dibuat megah setinggi empat lantai seperti di Sulawesi," katanya.

Laode juga membantah pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie bahwa DPD akan menambah 25-30 staf ahli.

"Lembaga DPD di daerah mengusulkan satu staf ahli saja susah," kata Laode.

Laode menuding Marzuki mungkin mendengar informasi yang salah dari istrinya yang juga anggota DPD. Mungkin saja, istri Marzuki tersebut mempunyai 27 staf ahli dan untuk membayarnya menggunakan dana pribadi.

"27 orang staf ahli itu khayalan dari mana," katanya.

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011