"Aparat keamanan juga akan melakukan tindakan sesuai hukum yang berlaku bagi warga yang merusak obyek vital seperti SUTET," kata Luluk Sumiarso.
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah sulit memenuhi tuntutan ganti rugi yang diajukan warga atas tanah dan bangunan yang terkena jalur Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET). Posisi pemerintah itu terungkap dalam rapat interdep tentang SUTET yang dihadiri wakil Kantor Menko Polhukam, Depdagri, Depkeu, Depkes, Depkum dan HAM, Kantor Menneg BUMN, Depkominfo, Kantor Menneg LH, Mabes Polri, BPN, Kejaksaan Agung, dan PT PLN (Persero) dengan tuan rumah Departemen ESDM di Jakarta, Selasa. Sebelumnya, rapat dengar pendapat antara pemerintah dan Komisi VII DPR menyimpulkan, pemerintah akan membentuk tim yang akan menangani kasus SUTET yang telah berlangsung beberapa tahun tanpa penyesesaian tersebut. Sekjen Departemen ESDM Luluk Sumiarso mengatakan, pemerintah tetap berpedoman pada ketentuan yang berlaku, yakni Permentamben No 01.P/47/MPE/1992 dan Kepmentamben 975.K/47/MPE/1999 yang mengatur tata cara mengenai ganti rugi dan kompensasi tersebut. Menurut dia, pemerintah sudah menyelesaikan ganti rugi dan kompensasi sesuai aturan yang berlaku dan tidak bisa memberikannya di luar ketentuan yang ada. Luluk juga mengatakan, rapat juga menyimpulkan jaringan kabel SUTET tidak menimbulkan masalah bagi kesehatan, karena medan magnet dan medan listriknya tidak melebihi ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ia mengatakan, sesuai standar WHO, ambang batas medan listrik adalah sebesar 5 kVm dan 0,1 mili tesla. "Aparat keamanan juga akan melakukan tindakan sesuai hukum yang berlaku bagi warga yang merusak obyek vital seperti SUTET," katanya. Jaringan SUTET berdaya 500 kV jalur Cirebon-Bandung dibangun PLN mulai tahun 1991 hingga 1999 dan beroperasi sejak 2000. Namun, sebagian warga menolak besaran kompensasi berdasarkan Kepmentamben 975.K/47/MPE/1999 dengan alasan kesehatan dan penurunan nilai jual tanah dan bangunan. Berdasarkan Kepmen tersebut tanah dan bangunan yang berada di bawah proyeksi ruang bebas SUTET diberikan kompensasi dengan rumus optimalisasi lahan x indeks fungsi x status tanah x NJOP (maksmium 0,1 NJOP). Sedangkan ganti rugi sebelum tahun 1999 didasarkan pada Permentamben No 01.P/47/MPE/1992 yang hanya diberikan pada tapak menara dan bangunan serta tanaman yang memasuki ruang bebas antara 8-15 meter di bawah transmisi. Bagi warga yang keberatan, pemerintah memberikan kadedeuh (uang tali kasih). Sedang warga yang tidak keberatan, kadedeuh tidak diberikan. Besar kadedeuh atau kompensasi itu adalah bangunan permanen Rp25.000 per m2, semi permanen Rp22.500 per m2 dan panggung Rp20.000 per m2. Warga menuntut Rp100.000-Rp200.000 untuk semua lahan yang terkena jalur SUTET. Tuntutan ganti rugi tersebut mencapai Rp90 miliar untuk 127 desa. Sementara itu, PLN telah memberikan uang kadedeuh pada tahun 1999-2000 untuk Kabupaten Bandung (2.532 bangunan), Kabupaten Sumedang (4.291), Majalengka (1.028), Kuningan (434) dan Cirebon (715). Melalui tim fasilitasi juga telah diberikan kadedeuh kepada Kelompok Eben Ezer Rp240 juta pada 26-27 Agustus 2004 untuk 104 KK di Kabupaten Majalengka, Kuningan dan Bandung. Kelompok Ikatan Keluarga Korban SUTET (IKKS) dan LBH Bandung Rp285 juta pada 21 Oktober 2004 terhadap 169 KK di Kabupaten Bandung. Aksi demo sejumlah warga yang menuntut ganti rugi tersebut dilakukan dengan berbagai cara. Terakhir, mereka melakukan aksi yang cukup memprihatinkan yakni dengan mogok makan dan menjahit mulutnya sendiri. Mereka juga melakukan pengrusakan menara listrik dengan membakar ban dan mencabuti besi.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006