Seorang anggota Angkatan Bersenjata Ukraina berjalan di posisi perang di dekat garis pemisah dari pemberontak yang didukung Rusia di dekat Horlivka di Donetsk, Ukraina, Kamis (20/1/2022). Foto diambil tanggal 20 Januari 2022. ANTARA FOTO/REUTERS/Anna Kudriavtseva/hp/cfo

Kotak pandora

Alhasil situasi semakin panas saja, tetapi sejumlah kalangan yakin masih ada peluang diplomasi untuk meredakan konflik ini.

Tetapi diplomasi ini terbentur tiga tuntutan Putin yang mustahil diluluskan baik oleh Ukraina maupun Barat.

Pertama, Rusia meminta jaminan NATO bahwa Ukraina tak akan menjadi anggota pakta pertahanan Atlantik utara itu. Kedua, Rusia menuntut peta pengaruh sebelum 1990-an yang mengartikan negara-negara eks Soviet yang bergabung dengan NATO harus meninggalkan pakta pertahanan kawasan itu. Ketiga, Putin meminta Ukraina mengubah haluan politiknya menjadi tidak lagi berorientasi Barat.

Ketiga tuntutan itu sulit dipenuhi karena Barat tak bisa memaksa negara-negara eks Soviet, apalagi yang sudah bergabung dengan NATO dan Uni Eropa, untuk menjauhi Barat dan sebaliknya mendekat Rusia.

Lagi pula itu sudah menyangkut kedaulatan sebuah negara, apalagi berbagai jajak pendapat sejak Krimea dianeksasi Rusia pada 2014, Ukraina kian bernafsu bergabung dengan NATO.

Tindakan Rusia menumpuk pasukan di perbatasan Ukraina justru bakal membuat Ukraina semakin ingin cepat-cepat bergabung dengan NATO.

AS sendiri melihat konflik ini lebih besar dari sekadar Ukraina, karena ini sudah menyangkut kedaulatan nasional dan integritas teritorial.

Baca juga: Krisis Ukraina memanas, NATO siagakan pasukan

"Jika kita membiarkan kedua prinsip itu dilanggar, maka sama artinya kita membuka kotak Pandora," kata Menteri Luar Negeri Antony Blinken seperti dikutip Washington Post.

Menurut Blinken, jika AS dan Barat membiarkan Rusia mengintervensi Ukraina, maka itu sama artinya membiarkan negara-negara lain di dunia menduduki wilayah-wilayah di luar negaranya.

Sekilas krisis Ukraina mirip krisis misil Kuba pada 1962 ketika Soviet menggertak AS dengan rencana memasang rudal nuklir di Kuba yang menghadap langsung wilayah AS.

Konklusi krisis Kuba adalah Soviet mengurungkan niatnya tetapi AS juga urung memasang rudal nuklir di Turki yang berada di selatan Rusia.

Dalam konteks krisis Ukraina, Rusia berusaha menekan NATO untuk tak menggelarkan pasukan dan arsenal nuklir di Eropa timur.

Namun permintaan ini susah dipenuhi AS, apalagi itu dianggap sama dengan mengabaikan perasaan terancam Rusia di kalangan negara-negara seperti Ukraina.

Melihat fakta-fakta ini, krisis Ukraina sepertinya bakal terus memanas sampai beberapa lama kemudian, tetapi tidak akan pecah menjadi perang, paling tidak sebelum Olimpiade Musim Dingin di Beijing digelar bulan depan.

China kabarnya akan marah besar kepada Rusia jika sampai pecah perang di Ukraina ketika Olimpiade Beijing digelar.

Sebuah perang besar saat Olimpiade Beijing akan sama artinya mengalihkan perhatian dunia dari Olimpiade yang sudah diniatkan China sebagai ajang memamerkan pencapaian-pencapaian nasionalnya, termasuk sukses negeri ini dalam melawan pandemi COVID-19.

Tentu saja dunia berharap perang terbuka tak terjadi. Namun saat itu terjadi, maka mesti ada konsesi-konsesi besar untuk akhir konflik seperti ini, atau mungkin sama sekali tidak ada konsesi.

Baca juga: Olimpiade Beijing bisa tunda Rusia invasi Ukraina

Copyright © ANTARA 2022