Tanggung jawab profesi saya sebagai seorang jurnalis
Medan (ANTARA) -
Sudah lebih dari dua tahun dunia tak terkecuali di Indonesia hidup berdampingan dengan virus Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Belum tuntas dengan varian Delta, Indonesia saat ini kembali dihadapkan dengan kasus COVID-19 varian Omicron dengan tren kasus yang terus meningkat.

Ini bukan sebatas klaim, tetapi mengacu pada data yang diumumkan Kementerian Kesehatan RI. Di mana, jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia secara keseluruhan bertambah 10.185 orang per 31 Januari, sehingga akumulasinya saat ini menjadi 4.353.370 kasus.

Dari total 4.353.370 kasus COVID-19 di Indonesia, 4.140.454 kasus berhasil sembuh, dan 144.320 orang meninggal dunia.

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin memperkirakan jumlah kasus COVID-19 akan terus meningkat, bahkan mencapai puncaknya pada Februari hingga Maret 2022, tentunya dengan penyumbang terbesar adalah COVID-19 varian Omicron yang saat ini sudah menyebar di beberapa provinsi di Indonesia.

COVID-19 varian Omicron dinilai memiliki tingkat penularan yang sangat cepat hingga lima kali lipat dari varian-varian sebelumnya.

Sejak diumumkan kasus pertama varian Omicron di Indonesia pada 16 Desember 2021, saat ini jumlahnya sudah mencapai 2.507 pasien penderita Omicron.

Jumlah ini naik 89,9 persen dalam waktu sepekan atau meningkat 351 kasus dibanding hari sebelumnya yang berjumlah 2.156 kasus. Dari jumlah 2.507 penderita Omicron, sebanyak 765 pasien di antaranya sudah sembuh hingga Minggu (30/1).

Dalam situasi pandemi COVID-19 saat ini, perkembangan informasi berbasis digital semakin dibutuhkan. Masyarakat membutuhkan informasi yang kredibel dan terpercaya untuk mengetahui fenomena COVID-19 beserta dampaknya. Dengan demikian, masyarakat semakin memahami cara-cara melindungi diri, keluarga, serta lingkungan sekitar secara tepat.

Dalam hal ini, insan pers sebagai salah satu sumber pembuatan dan penyebaran informasi berperan sangat penting sebagai sumber informasi bagi masyarakat.

Namun, dengan situasi pandemi saat ini tentunya mengekang gerak para jurnalis. Mendadak semua jumpa pers dilakukan secara daring. Jika ada yang digelar secara luring, harus membekali diri dengan alat pelindung diri (APD) serta penerapan protokol kesehatan secara ketat. Meskipun untuk urusan jaga jarak sulit dilakukan saat wawancara doorstop.

Meski di tengah gencatan pandemi saat ini, para jurnalis, tak terkecuali jurnalis perempuan tetap dituntut untuk menjalankan tugasnya menyampaikan informasi di garda terdepan.

Misalnya saja seperti yang dialami salah seorang pewarta perempuan Kantor Berita Indonesia ANTARA Evalisa Siregar. Memiliki peran ganda sebagai seorang pekerja sekaligus ibu dari satu orang anak, tak menyurutkan semangat dia untuk tetap berjibaku menyampaikan informasi akurat dan aktual kepada masyarakat.

Hampir 33 tahun menggeluti profesi jurnalis, membuat wanita kelahiran 9 September 1965 ini memiliki banyak pengalaman liputan. Demonstrasi, bencana alam, peristiwa politik, ekonomi, hukum hingga pandemi COVID-19 menjadi bagian perjalanan Eva dalam mengemban profesinya.

Di balik itu semua, ada duka yang harus disimpan. Bagi Eva, pandemi semakin menambah berat pekerjaannya sebagai jurnalis. Turun ke lapangan untuk mendapatkan data dan fakta mutlak harus dilakukan, sementara virus corona selalu mengancam jiwa.

Pergi liputan yang dulu dilakukan dengan penuh semangat dan kegembiraan, kini dibayangi kecemasan tertular COVID-19 dan kemudian membawa virus itu ke rumah. Tekanan mental semakin terasa bertambah saat rekan sesama jurnalis terpapar COVID-19.

"Semakin takut dan panik ketika rekan seprofesi meninggal dunia akibat COVID-19," kata Eva.

Mobilitas tinggi yang dijalani oleh para jurnalis dalam bertugas memang membuat sulit untuk terhindar dari risiko tertular. Belum lagi, eksistensi kasus orang tanpa gejala (OTG) COVID-19 yang tak kasat mata menjadikan penyebarannya semakin sulit dicegah.

Upaya yang dilakukan Eva agar tidak terpapar COVID-19 dengan mobilitasnya yang cenderung tinggi adalah dengan membekali diri dengan sejumlah peralatan seperti handsanitizer, masker dan juga mengonsumsi vitamin.

Tidak dapat dielakkan, ritme kerja di masa pandemi terkadang membuat dirinya kewalahan. Bagaimana tidak, sering kali dirinya beserta para jurnalis lainnya diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan COVID-19 saat akan melakukan peliputan.

Terlebih lagi, tempat Eva bekerja memberlakukan beberapa peraturan bagi para pewarta yang melakukan peliputan di lapangan, seperti penerapan durasi liputan yang tidak lebih dari satu jam, mewajibkan para pewarta memakai APD saat melakukan peliputan di zona merah COVID-19, wajib mandi usai meliput, mensterilisasi peralatan liputan sebelum dan setelah liputan serta beberapa aturan lainnya.

"Namun itu semua demi kebaikan diri saya, keluarga dan juga rekan-rekan kantor," ujarnya.

Menurut dia, jurnalis terutama perempuan memiliki peran lebih ekstra dari biasanya pada masa pandemi COVID-19 seperti saat ini. Selain ikut memikirkan bagaimana mendapatkan tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, peran sebagai guru pun harus dilakukan untuk mengajar anak yang kegiatan belajarnya dialihkan ke rumah.

Namun, tidak selamanya duka menjadi penghalang untuk maju. Itulah prinsip Eva untuk terus melaksanakan tanggung jawab profesinya dalam mengabarkan informasi akurat dan berimbang kepada masyarakat.

"Intinya harus pintar-pintar dalam mengatur ekonomi dan pola hidup sehat keluarga, mendampingi anak belajar di rumah serta bekerja juga tetap profesional," tambah Eva.

Baca juga: Ketika platform digital jadi solusi bagi jurnalis bangkit dari pandemi

Baca juga: AJI-Maveric buat program kesehatan mental jurnalis di masa pandemi


Informasi hoaks

Kondisi yang hampir serupa juga dialami oleh Farida Noris, salah seorang jurnalis CNN Indonesia. Di usianya yang masih tergolong muda tidak membuatnya menyerah untuk menyajikan berita-berita yang mencerdaskan bagi masyarakat.

Di awal pandemi, situasi itu dirasa berat bagi Farida lantaran belum banyak penelitian tentang COVID-19, dan virus ini dianggap begitu menakutkan. Di saat orang-orang kebanyakan memilih tinggal di rumah karena takut tertular, Farida justru harus menepis ketakutannya dan melangkahkan kakinya ke luar rumah demi tugas. Situasi tersebut sedikit banyaknya menekan mental dirinya.

Rasa ketakutan tak dapat ditepis saat melakukan peliputan di area yang rentan akan penularan COVID-19, seperti rumah sakit, tempat isolasi, maupun tempat-tempat keramaian.

"Tapi mau tidak mau harus dilakukan, karena ini tanggung jawab profesi saya sebagai seorang jurnalis," katanya.

Menurut dia, gender tidak membatasi dirinya untuk menghasilkan karya-karya jurnalistik terbaik di masa pandemi COVID-19.

"Jangan pernah takut untuk melakukan yang terbaik hanya karena kodrat sebagai perempuan," ujarnya.

Sejak pertama pandemi menyerang, masyarakat mencerna banyak informasi baik yang tervalidasi maupun hoaks. Kondisi tersebut diperparah dengan masifnya penggunaan internet.

Hal ini tentunya menjadikan masyarakat dirundung kepanikan atas kabar burung yang menyesatkan. Alhasil, berpengaruh pula pada krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah atas informasi akurat yang disebar.

Tidak dipungkiri bahwa masih banyak masyarakat yang takut untuk divaksin yang merupakan salah satu upaya pemerintah dalam memutus rantai penularan COVID-19.

Untuk menepis infodemik tersebut, peran jurnalis sangat dibutuhkan untuk meluruskan kekeliruan informasi di kalangan masyarakat dengan mengulik data dan fakta yang akurat dari narasumber terkait.

Tidak hanya itu saja, jurnalis juga bertugas untuk bersikap konstruktif dalam pengolahan datanya, sehingga mampu memberikan sebuah perspektif yang valid dan dapat dipercayai oleh masyarakat.

Pemberitaan positif dan mencerdaskan yang disuguhkan diharapkan dapat mengedukasi masyarakat untuk bersinergi mencegah penularan COVID-19 dengan cara tetap mematuhi protokol kesehatan dan menaati aturan pemerintah demi kebaikan bersama agar pandemi COVID-19 segera berakhir.

Salah satu dampak positif dari pemberitaan yang aktual yang disajikan kepada masyarakat adalah meningkatnya jumlah penduduk Indonesia yang mau divaksinasi guna mencegah penularan COVID-19.

Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan COVID-19 hingga 31 Januari 2022, capaian vaksinasi sudah di angka 184.680.997 (184,68 juta) penduduk Indonesia.

Angka tersebut berasal dari penambahan 123.282 orang yang telah menerima vaksinasi COVID-19 dosis pertama. Sedangkan penerima vaksinasi COVID-19 dosis lengkap tercatat sebanyak 129.028.074 orang.

Sementara penerima vaksinasi dosis ketiga atau penguat tercatat sebanyak 4.221.642 orang setelah ada tambahan 17.002 orang telah mendapatkan vaksin dosis ketiga.

Pemerintah menargetkan 208.265.720 penduduk Indonesia mendapatkan vaksinasi COVID-19 guna membentuk kekebalan melawan infeksi virus tersebut di masa pandemi.

Baca juga: Guru Besar: Pers berperan bangkitkan optimisme warga di masa pandemi

Baca juga: MPR harap jurnalis berikan optimisme masyarakat di tengah pandemi

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022