Setelah kekerasan pelaku secara sadar meminta maaf kepada korban dan memasuki masa harmonisasi di mana kondisi menjadi membaik dan hubungan jauh lebih mesra. Namun, tak lama setelah itu siklus kembali terulang memasuki fase kekerasan.
Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor menyebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memiliki siklus yang bersifat toksik dan dapat terjadi secara berulang-ulang.

“Persis dalam teori kekerasan rumah tangga, KDRT itu seperti siklus yang berputar,” kata Maria saat dihubungi ANTARA melalui telepon di Jakarta, Jumat.

Maria mengatakan siklus tersebut bersifat toksik dan akan terus berputar di dalam hubungan pasangan suami-istri. Siklus tersebut akan diawali dengan adanya ketegangan yang memicu konflik di dalam hubungan antara suami dengan istri, yang kemudian akan berujung pada tindak perilaku kekerasan baik bersifat fisik, psikis, seksual bahkan mengungkit perbedaan latar belakang dari segi ekonomi.

Setelah kekerasan terjadi, pihak yang menjadi pelaku secara sadar akan meminta maaf kepada korban dan memasuki masa harmonisasi di mana kondisi menjadi membaik dan hubungan jauh lebih mesra. Namun, tak lama setelah itu siklus akan kembali terulang memasuki fase kekerasan.

Walaupun siklus kekerasan dalam rumah tangga terjadi secara berulang dan era digital berkembang pesat, nyatanya masih banyak korban yang tidak berani melapor akibat adanya sebuah ‘kekosongan’ yang terjadi dalam hukum milik Indonesia.

Menurutnya, kekosongan yang terjadi pada hukum kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh dua hal, yaitu adanya relasi kuasa yang timpang dalam hubungan suami istri serta budaya patriarki yang beranggapan tak masalah bila memukul atau berteriak pada perempuan.

Kekosongan nampak jelas ketika seorang korban yang khususnya perempuan melaporkan diri. Dalam banyak kasus, terdapat korban yang telah memberanikan diri meminta pertolongan namun justru balik dilaporkan.

Tuduhan yang dikembalikan pada korban, kata dia, biasanya seperti dituntut karena adanya pencemaran nama baik pelaku.

Kekosongan juga terjadi pada saat masa pembuktian dalam persidangan. Dikarenakan korban tak memiliki cukup bukti atau saksi yang melihat kejadiaan itu, maka pengaduan akan ditolak akibat dianggap tidak memenuhi syarat dan kasus tidak dilanjutkan secara hukum.

“Logika saja, mana ada orang yang memperkosa lalu mau membawa saksi? itu karena saksi yang menyaksikan sangat mustahil terjadi dan jadi kurang alat bukti,” tegas Maria.

Melihat kekosongan itu, dia mengimbau setiap pihak untuk merubah budaya komunikasi dalam masyarakat supaya kehidupan dapat terbangun menjadi lebih aman, setara dan adil antar sesama.

“Imbauan saya mari kita tradisikan, kita biasakan, kita budayakan komunikasi yang setara dan adil antara laki-laki dan perempuan,” katanya.
Baca juga: Komnas Perempuan ungkap pelapor kekerasan seksual di kampus meningkat
Baca juga: Komnas Perempuan: Hanya 30 persen kasus yang diproses hukum
Baca juga: Komnas Perempuan harap RUU TPKS menguatkan aspek pemulihan korban


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2022