Jakarta (ANTARA) - Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman menyatakan kesadaran Indonesia dalam menyusun sebuah rencana mitigasi yang matang dalam menghadapi pandemi COVID-19 masih tergolong rawan.

“Kita perlu memiliki program yang jelas, bukan hanya terburu-buru menyatakan (aturan) bisa longgar, tidak seperti itu. Karena pada faktanya, COVID-19 akan berdampak dan bisa sangat serius karena bicara sumber daya manusia dan long covid,” kata Dicky dalam pesan suara yang diterima ANTARA di Jakarta, Selasa.

Berbicara dalam konteks Indonesia, Dicky menuturkan memang benar jika cakupan vaksinasi dosis lengkap saat ini sudah mencapai 65 persen melebihi target yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Indonesia juga sudah mulai memberikan dosis penguat (booster) juga vaksin pada anak usia 6-11 tahun. Namun faktanya, menghadapi pandemi dengan berlandaskan pada status vaksinasi saja, menurutnya tidak cukup untuk menghadapi COVID-19 terutama bila melawan Omicron.

Baca juga: Epidemiolog: Tren COVID-19 anak alami perubahan sejak ada Omicron

Baca juga: Epidemiolog minta semua pihak tak remehkan varian Omicron


Dicky menganalisa bila COVID-19 memiliki pola antar gelombang paling cepat terjadi kembali empat sampai enam bulan setelah gelombang sebelumnya. Kecenderungan itu akan semakin mengecil akibat vaksinasi dan semakin mengarah pada daerah pinggiran.

Sayangnya, lanskap imunitas daerah di luar Jawa-Bali masih dapat dikatakan lemah sehingga pemerintah masih memiliki tanggung jawab besar menjaga agar tak ada ketimpangan di tiap daerah.

“Pada gilirannya meskipun saat ini kelompok rentan masih dalam skala prioritas, tapi target akhirnya berbicara mengenai seluruh populasi dan golongan, semua harus diberi vaksin penguat dan minimal dapat mencapai 90 persen,” kata Dicky.

Di samping penguatan vaksinasi dan 3T, pemerintah juga perlu memperkuat strategi komunikasi risiko melalui sebuah narasi atau tindakan yang dapat membangun persepsi risiko dalam menghadapi pandemi agar tidak terjadi ledakan kasus.

“Komunikasi strategi risiko adalah suatu strategi yang menyampaikan pada semua pihak apa adanya tentang Omicron ini punya sisi positif dan negatif, sehingga terbangun persepsi risiko. Ini yang masih lemah di Indonesia,” kata dia.

Selain menggaungkan adaptasi kebiasaan baru melalui penerapan memakai masker dan menjaga jarak, adaptasi baru itu juga perlu diterapkan pada lingkungan seperti mengubah sirkulasi ventilasi udara pada gedung atau perkantoran agar risiko penularan dapat berkurang di dalam ruang tertutup.

“Ini adalah proses yang hidup, bukan statis atau berhenti. Jadi ini harus ada program untuk meminimalisir dampak yang akan terjadi baik jangka menengah ataupun panjang,” ucapnya.

Dicky juga menyebutkan pemerintah tidak boleh hanya mengadakan penguatan di hulu.

Penanganan di hilir seperti menyediakan rehabilitasi untuk long covid, sistem rujukan, terapi yang memiliki antivirus hingga kesinambungan antara puskesmas atau klinik di tingkat bawah juga perlu disiapkan dan dijaga agar tidak terjadi penumpukan rawatan di rumah sakit yang dapat menyebabkan telat penanganan berujung kematian.

“Sekali lagi, pernyataan kita selesai dengan COVID-19, itu tidak serta merta menyelesaikan masalah. Penyakit ini masih ada, masih menimbulkan masalah dan masih punya potensi serius di masa depan,” kata Dicky.*

Baca juga: Epidemiolog minta masyarakat segera vaksinasi dan tak remehkan Omicron

Baca juga: Epidemiolog: Terus lakukan literasi demi percepat vaksinasi COVID-19


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022