Rencana mau pulang lebaran nanti kalau ada uang dan diizinkan pimpinan panti,"
Palu (ANTARA News) - Risal (11 tahun), harus merelakan kepergian ibu tercintanya, Mei, empat tahun silam.

Ibunya meninggal dunia dalam kondisi hamil sembilan bulan dalam perjalanan dari Desa Ungkaya, Kecamatan Bungku Barat, menuju rumah sakit di Bungku, Ibu kota Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

Tidak ada mobil ambulance yang bisa menolong ibu hamil itu agar segera tiba di rumah sakit yang berjarak sekitar 70 kilometer.

Namun atas kebaikan hati juragan di kampung, Mei akhirnya dimuat dengan mobil bak terbuka menuju rumah sakit. Namun nahas, akibat jalan yang rusak parah, mobil itu terbenam di lumpur di tengah jalan. Mei akhirnya menemui ajalnya di atas jalan berlumpur bersama bayi yang dikandungnya.

Seketika itu juga Risal bersama delapan saudaranya menjadi yatim.

"Kalau saja waktu itu jalan tidak rusak, mungkin ibu saya masih hidup sekarang," kata Risal mengenang.

Dalam usianya tujuh tahun ketika itu, Risal sudah mengerti arti kepedihan dalam hidup ini. Kepergian seorang ibu yang dicintainya adalah pukulan telak baginya. Bocah itu menyaksikan kepergian ibunya bersama bayi yang dikandungnya. Risal bahkan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ibunya dikebumikan di bumi penghasil nikel terbesar di Sulawesi Tengah itu.

"Waktu itu saya ikut mengantar ibu sampai ke kubur," tutur Risal mengenang peristiwa memilukan itu.

Sepeninggal ibunya, Risal dipelihara ayahnya Yusuf di Desa Ungkaya. Setelah lulus taman kanak-kanak, karena hidup dalam kondisi yang sulit, Risal kemudian dikirim ke panti asuhan Wali Songo di Jalan Soekarno Hatta, Kota Palu. Di panti inilah Risal mengadu nasib bersama puluhan anak yatim lainnya dari berbagai pelosok daerah.

Panti asuhan itu menampung 36 anak yatim piatu dari berbagai daerah. Dulu, panti asuhan Wali Songo itu dibangun di Kabupaten Poso bersama pesantrennya. Tetapi hancur akibat konflik berlatar belakang agama yang meregang ratusan nyawa manusia.

Panti Asuhan Wali Songo sudah beroperasi di Palu sekitar 10 tahun lalu. Kendatipun sebagian bangunannya sudah permanen dan bertingkat dua, tetapi sebagian besar sarananya masih terbatas.

Masjid misalnya, masih terbuat dari serpihan papan. Masjid itu berdiri kaku di atas pondasi yang belum rampung. Tempat wudhunya masih darurat. Belum ada tegel seperti tempat wudhu masjid-masjid pada umumnya di Kota Palu.

Aula yang biasanya dipakai pertemuan masih dinding sepotong. Rangka atapnya juga masih dibuat sekadar menahan atap seng saja.

Hari ke empat Ramadhan 1432 Hijriah, puluhan aktivitis pemuda yang tergabung dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KPNI) menggelar buka puasa bersama anak yatim di panti asuhan itu.

Usai berbuka, seluruh anak panti dan aktivis pemuda menuju ke mushallah. Tidak semua jamaah tertampung di mushallah itu. Sebagian akhirnya memilih shalat berjamaah di teras kantor panti. Risal menjadi salah seorang santri yang ikut bergabung di kelompok ini. Risal berdiri di saf pojok paling kanan. Hanya dia sendiri anak panti laki-laki yang ada di saf itu.

Hari itu ia mengenakan baju koko sepadan dengan celana panjang dan kopiahnya. Baju itu pembagian dari panti asuhan. Selepas doa di akhir shalat, Risal belum langsung beranjak dari tempatnya. Ia berbagi pengalaman bersama beberapa aktivis pemuda.

Risal kini duduk di kelas IV sekolah dasar Wali Songo. Pertistiwa yang memilukan yang menimpa ibunya lima tahun silam masih teringat jelas di benaknya. Ia begitu lancar menceritakan setiap rona kehidupan yang ia alami.

"Sudah empat kali lebaran saya belum pernah pulang ke kampung. Rencana mau pulang lebaran nanti kalau ada uang dan diizinkan pimpinan panti," kata Risal.

Risal mengaku kangen sekali dengan adik dan kakaknya di kampung. Selama tinggal di panti asuhan, hanya sekali ayahnya menghubungi Risal. Kira-kira dua tahun lalu. Itupun hanya melalui telepon.

"Waktu itu papaku mau menikah lagi, tapi saya dan kakakku tidak setuju," kata Risal.

Risal adalah anak kelima dari sembilan bersaudara. Orok malang yang dikandung ibunya, adalah adik risal yang ke enam. Orok itu tidak sempat menghirup udara di dunia karena tidak tertolong saat ibunya mengandung.

Dari sembilan bersaudara, hanya tiga di antaranya perempuan. Dua kakak perempuan Risal sudah menikah. Satu lagi kakak perempuanya, Santi, kini tinggal bersama Risal di panti asuhan. Santi duduk di kelas VI.

"Saya tidak tahu apakah adik saya di kampung juga sekolah atau tidak," katanya.

Risal termasuk murid berprestasi. Ia kerap juara II di kelasnya. Saat masih duduk di bangku kelas I sampai kelas III, setiap hari Risal bersama anak yatim lainnya bolak-balik pergi ke sekolah Aisyiah di Jalan Hangtuah. Jaraknya kira-kira dua kilometer dari panti.

Saban pagi Risal dibekali uang transportasi pergi. Saat pulang harus berjalan kaki menembus jalan di Kota Palu yang berdebu. Selama tiga tahun, Risal bersama anak-anak yatim di panti itu berjibaku melawan matahari yang memancar di garis khatulistiwa.

"Sekarang sudah bagus karena kami sudah sekolah di dalam kompleks pondok ini," kata Risal sambil menunjuk ruang kelasnya di lantai dua.

Seperti halnya anak-anak lainnya, Risal juga memiliki cita-cita luhur. Jika besar kelak, ia tidak beriming-iming menjadi pilot atau dokter.

Ia mengaku hanya ingin menjadi ustadz (guru agama), sebuah profesi yang jarang dicita-citakan generasi muda kini.

"Cita-cita saya mau jadi ustadz," ujar Risal dengan suara mantap.

Seperti halnya anak-anak di panti pada umumnya setiap hari disibukkan dengan rutinitas belajar. Pada jam tertentu harus membersihkan pekarangan. Mencuci pakaian. Membersihkan ruang kelas dan tempat tidur.

Anak-anak panti ketiban rezeki jika ada undangan baca doa dari para penderma. Itu pun jarang. Satu orang biasanya diberi Rp20 ribu paling banyak Rp50 ribu per orang dari dermawan. Dari undangan itulah anak-anak panti baru melek uang. Santri yang rajin menabung, uang itu mereka simpan untuk keperluan yang mendesak.

Di bulan Ramadhan berbagai bantuan datang ke panti ini. Hati orang banyak yang tergerak untuk membantu. Selepas buka puasa hari keempat Ramdhan, misalnya, ada yang membawa satu karung beras ada pula yang membawa makanan yang sudah siap santap. Bahkan seorang ibu datang bersama anaknya menenteng belanga masak yang didalamnya terdapat makanan siap santap.

Pengamat masalah keagamaan, Abdul Munir Mulkhan, dalam opininya di sebuah surat kabar mengatakan puasa adalah media pencerahan dan penyegaran kembali kemanusiaan dan segala hubungan bendawinya.

Pahala yang dilipatgandakan sehingga orang berlomba-lomba berbuat kebaikan termasuk menyantuni si miskin, yatim piatu, dan merela yang menderita.

Tetapi, kata Munir, setiap kali Ramadhan usai, tradisi setan kembali berkuasa atas diri manusia. Mereka yang sebulan penuh berpuasa dengan kesalehan banyak yang kembali menjadi serakah dan acuh terhadap penderitaan sesama.

Manusia kembali gagal menangkap makna esensial ritus puasa sehingga terperangkap pada keserakahan dan kepentingan diri sendiri.
(A055/R007)

Pewarta: Adha Nadjemuddin
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011