"Kalau Idul Fitri memang berbeda, ya tidak mungkin dipaksakan untuk sama, karena ada argumentasi dan ijtihad masing-masing. Kalau dipaksakan menjadi satu justru tidak wajar," kata Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jatim Prof H Zainuddin Maliki kepada ANTARA di Surabaya, Minggu.
Menurut dia, masyarakat awam terlihat lebih siap dengan perbedaan itu dibandingkan kaum politisi, terbukti cara masyarakat awam menyikapi perbedaan awal Ramadhan dan Idul Fitri yang berjalan normal, dan hal itu tidak sampai memutuskan tali silaturrahmi antarmasyarakat.
"Perbedaan awal Idul Fitri tidak membuat masyarakat enggan bersilaturrahmi dengan tetangganya saat Idul Fitri datang, karena mereka merasa percaya dengan argumentasi masing-masing," kata Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) itu.
Bahkan, kata sosiolog Islam itu, masyarakat sudah menyadari bahwa awal Ramadhan dan Idul Fitri itu tidak mungkin dipaksakan untuk sama atau disatukan, kecuali hasil ijtihad dari para tokoh agama yang dianutnya memang sama.
"Kalau ada masyarakat awam yang tidak siap itu biasanya karena mereka dimanfaatkan oleh kaum elite untuk kepentingan politis dan masyarakat awam hanya menjadi korban. Jadi, masyarakat awam elite siap daripada politisi dalam berbeda Idul Fitri," ujar Ketua Dewan Pendidikan Jatim itu.(E011)
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2011