Simpang Empat (ANTARA) - Suara isak tangis perempuan dan bayi terdengar samar dari tenda pengungsian korban gempa Pasaman Barat pada siang itu.

Dari dalam tenda seorang ibu berupaya mendiamkan anaknya yang tak henti menangis.

Rasa pilu itu masih terasa menyelimuti, sang ibu, Parina (48), warga Jorong Simpang Timbo Abu, Nagari Kajai, Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat.

Dua belas hari lalu tepatnya 25 Februari 2022 daerah itu merupakan lokasi paling parah dan porak poranda diguncang gempa membuat perempuan itu kehilangan rumah dan harta bendanya.

Guncangan gempa magnitudo 6,1 itu mengharuskan ratusan warga lainnya, mengungsi di tanah lapang, yang posisinya dianggap aman dari reruntuhan bangunan dan pepohonan.

Deretan tenda berukuran besar dan kecil berdiri kokoh, untuk ditempati pengungsi.

Parina kini tidak tahu mengadu ke siapa lagi. Rumah yang hancur membuat ia bersama keluarga dan ratusan pengungsi lainnya terpaksa tinggal di tenda darurat.

Ingin rasanya ia pulang, tapi entah kemana. Sementara anaknya butuh tempat berteduh yang layak karena masih ada yang balita berumur empat bulan.

Anak-anaknya, Akira (4 bulan), Sakil (2), Kaisa (6) dan Ilham (10 ) juga terpaksa merasakan tidur di atas tikar merasakan dinginnya malam bersama pengungsi lainnya.

"Kami mau pulang, Pak, tapi kemana. Rumah kami rusak karena gempa," kata Parina lirih.

Sambil menyeka air matanya, ia bercerita kepanikan saat gempa terjadi di pagi Jumat itu.

Teriakan menggema dari semua warga Timbo Abu umumnya. Getaran kuat terasa dan bunyi dentuman terdengar keras saat itu.

Tanah di dekat rumahnya bergetar dan meletup-letup. Diiringi bunyi reruntuhan rumahnya serta bangunan lainnya.

Apa mau dikata, perabot dan isi rumahnya hancur ditimpa reruntuhan bangunan yang bertahun-tahun dihuninya.

Saat gempa melanda, ia masih beruntung bersama anaknya berada di luar rumah.

Saat itu Parina sedang menyuapkan anaknya makan di luar rumah. Hanya bisa mendekap kedua anaknya dan menghindar dari reruntuhan bangunan.

Abu reruntuhan bebatuan menambah kepedihan matanya yang memang sudah pedih melihat bencana yang melanda saat itu.

Sedangkan kedua anaknya sedang bersekolah di Taman Kanak-anak dan Sekolah Dasar juga harus dijemput takut terjadi apa-apa. Sedangkan bapak dari anak-anaknya sudah berada di ladang untuk bekerja.

Usai terjadi gempa dan meluluhlantakkan rumah, ia bersama warga lainnya pergi mengungsi ke lokasi yang aman.

Awalnya hanya tenda biasa, namun dua hari setelah itu baru berdatangan bantuan tenda yang lebih layak.

Di lokasi pengungsian, ia bersama warga lainnya bertahan dengan kebutuhan seadanya.

Untuk makan sehari-hari ia hanya mengharapkan bantuan dari pemerintah dan dermawan lainnya.

Hari kedua pasca gempa, kebutuhan makan dan lainnya mulai berdatangan dan sudah mencukupi.

Baca juga: Pupuk Indonesia kirim bantuan Rp100 juta bagi korban gempa Sumbar

Memilih bertahan

Saat ini, ia bersama warga lainnya hanya bisa pasrah. Kalau memang anjuran pemerintah harus pulang maka ia akan pulang ke rumah.

Namun, pulang kemana, ia pun tidak mengetahuinya karena rumahnya sudah rusak dan tidak bisa dihuni lagi.

Ia bersama 513 warga lainnya, hingga Ahad (6/3), masih bertahan di tenda darurat yang ada di tempat pengungsian.

Pengungsi berharap jika pun harus pulang hendaknya pemerintah bisa menyediakan tenda atau hunian sementara dekat rumah mereka.

Jika disuruh mengungsi pindah dari Simpang Timbo Abu mereka tidak bersedia karena ladang dan kebun mereka berada ada di sana.

"Biarlah kami disini. Ini kampung halaman kami yang memiliki tanah subur untuk diolah ditanami padi, ubi dan sayur mayur," katanya yang diamini pengungsi lainnya Nurman (43).

Meskipun gempa susulan masih terus dirasakan, pengungsi tetap bersikukuh bertahan di kampung mereka yang berdampingan dengan Gunung Talamau itu.

Jorong yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Pasaman Barat, Simpang Empat, itu merupakan daerah perbukitan dengan mata pencarian masyarakatnya berladang dan bertani.

Selain tanaman padi, masyarakatnya juga menanam ubi, lobak dan sayur mayur lainnya.

Jorong Simpang Timbo Abu memiliki 1.226 Kepala Keluarga atau 5.228 jiwa yang saat ini sedang mempersiapkan menjadi nagari atau desa definitif.

Baca juga: DKI Jakarta kirim bantuan untuk penyintas gempa bumi di Pasaman

Harapkan huntara

Saat ini di Simpang Timbo Abu ada sekitar 513 jiwa yang mengungsi di satu titik pengungsian.

Di antara pengungsi itu ada 107 orang anak-anak, 17 orang bayi atau balita dan empat orang ibu hamil.

Mereka saat ini masih kebingungan memilih apa tetap bertahan atau pulang ke rumah. Sementara rumahnya tempat mereka berteduh sudah luluh lantak.

"Memang bencana ini menimbulkan luka mendalam bagi warga. Jika disuruh pulang, warga tidak tau mau pulang kemana," kata Ketua Pemuda Simpang Timbo Abu, Dodi.

Para pengungsi cuma bisa pasrah dengan kondisi saat ini. Kalau dibiarkan bertahan di tempat pengungsian maka berbagai penyakit akan mengancam.

Segala kebutuhan makan pengungsi hingga saat ini dapat dipenuhi oleh pemerintah dan pihak dermawan lainnya termasuk obat-obatan dengan adanya pos pelayanan kesehatan.

Mereka berharap kalau pulang ada hunian sementara (huntara) yang layak atau tenda darurat berdiri dekat rumah mereka.

Sembari menunggu bantuan rehab rumah dari pemerintah, warga bersedia dibuatkan tenda atau rumah hunian yang layak dekat puing-puing reruntuhan pondok mereka.

Itu baru satu titik lokasi pengungsian. Masih banyak lokasi pengungsian di Jorong Timbo Abu yang tersebar di pinggir-pinggir kampung.

Menyikapi ratapan pengungsi gempa saat ini, Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat mengambil langkah-langkah penanganan pascagempa di daerah itu.

Wakil Bupati Risnawanto yang juga Ketua PMI Pasaman Barat sedang menyiapkan 2.500 hunian sementara bagi korban terdampak bencana itu

Saat ini PMI sudah membuat satu contoh hunian sementara dengan ukuran 3x4 meter persegi yang lantainya terpisah dari tanah dengan lantai bambu diberi terpal dan dinding terpal.

Rumah hunian sementara ala PMI itu bisa untuk satu keluarga dengan pintu dan jendela memperhatikan kesehatan penghuninya.

Untuk tahap awal, PMI akan membangun sekitar 200 unit rumah yang akan ditempatkan di halaman rumah atau samping rumah warga yang roboh.

Menurutnya, hunian sementara itu bisa digunakan selama enam sampai delapan bulan sampai ada bantuan pemerintah untuk kembali membangun rumah warga yang rusak.

Untuk penentuan jenis kerusakan nantinya secara teknis akan dikaji oleh tim Universitas yang telah ditunjuk dan diputuskan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Rumah hunian sementara itu tetap memperhatikan kesehatan masyarakat.

Artinya, rumah itu aman dari genangan air karena lantainya tinggi dari tanah, pakai ventilasi atau lubang udara yang cukup.

Hunian sementara itu bisa melindungi dari hujan, angin kencang dan panas serta menjaga privasi warga.

PMI memperkirakan dari data sementara akan menyiapkan 2.000 sampai 2.500 rumah hunian sementara bagi korban gempa.

Sedangkan biaya membuat satu hunian sementara hanya memakan biaya sekitar Rp2,5 juta yang terbuat dari kayu, terpal dan beralaskan bambu dikasih terpal untuk lantainya.

"Jika ada dermawan membuat yang lebih baik tentu sangat bagus. Sebab, peran serta semua pihak sangat diharapkan dalam membuat hunian sementara ini," katanya.

Bupati Pasaman Barat Hamsuardi juga menegaskan akan membuat huntara bagi korban gempa.

Sambil menunggu pendataan oleh tim yang ditunjuk dari Perguruan Tinggi di Sumbar, pemerintah akan membangun huntara di depan atau samping rumah warga yang terdampak rusak berat.

Bagi yang rumahnya mengalami rusak sedang dan ringan maka akan didirikan tenda yang layak dekat rumahnya.

Jika pun tidak ada tempat atau lokasi di dekat rumah maka dicarikan lokasi atau tanah lapang yang layak dijadikan tempat berteduh nantinya.*

Baca juga: Bupati Pasaman Barat berjibaku tangani gempa

Baca juga: Korban meninggal dunia akibat gempa di Pasaman Barat bertambah

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022