Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Risky Kusuma Hartono menyoroti dinamika berkembangnya segmen rokok murah di pasaran karena selisih harga yang jauh dengan rokok dari golongan di atasnya.

Ia menjelaskan, terdapat selisih tarif cukai hasil tembakau (CHT) antar-golongan rokok yang masih lebar, sehingga semakin banyak perusahaan yang menggunakan peluang tersebut untuk bertahan di segmen rokok yang lebih rendah. Imbasnya pun terjadi pergeseran konsumsi rokok masyarakat ke produk yang lebih murah.

Baca juga: Lima fakta nikotin, benarkah sebabkan masalah kesehatan?

“Saat ini variasi harga rokok masih luas sehingga masih ada harga rokok yang lebih murah yang bisa diakses masyarakat," kata dia dalam siaran pers pada Selasa.

Maraknya rokok murah juga berpeluang mengancam target pemerintah dalam menurunkan prevalensi perokok, khususnya perokok anak. Apalagi saat ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah prevalensi perokok terbesar di Asia Tenggara.

Untuk itu, Risky merekomendasikan agar pemerintah terus mengkaji ulang struktur cukai saat dengan memperhatikan pertumbuhan rokok murah termasuk pentingnya mendekatkan selisih tarif cukai antar golonganya.

Sementara itu, Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno mengatakan banyaknya lapisan pada struktur tarif cukai dipandang sebagai salah satu pemicu pabrikan untuk bertahan memproduksi rokok murah.

Baca juga: DPR akan kawal usulan cukai rokok untuk pembiayaan kesehatan

"Perusahaan kemudian memproduksi jenis rokok dengan menurunkan golongannya, itu juga jadi permasalahan selama ini. Perokok dapat berpindah atau beralih ke rokok yang lebih murah,” katanya.

Kebijakan tarif cukai rokok pada 2022 harus diperkuat dengan kebijakan lainnya agar berdampak signifikan terhadap keberadaan rokok murah yang masih menjamur.

“Kalau bisa ketika ada kenaikan cukai, harganya tidak terlalu jauh dari satu dengan yang lain sehingga tidak ada industri yang memproduksi rokok murah,” kata dia.

Sebelumnya, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Pande Putu Oka mengatakan bahwa kebijakan itu ditujukan demi mengendalikan konsumsi barang yang berdampak negatif dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia (SDM).

"Instrumen fiskal untuk pengendalian tembakau mencakup kenaikan tarif cukai serta simplifikasi struktur cukai dari 19 layer di tahun 2009 menjadi 8 layer di tahun 2022. Upaya ini juga dilengkapi dengan pengawasan harga di pasaran. Tentunya indikator yang bisa dilihat adalah penurunan prevalensi perokok terutama pada anak dan remaja sehingga kualitas SDM dan keberlangsungan program JKN ke depan dapat dijaga dengan baik,” ujar dia.

Upaya-upaya tersebut sejalan dengan arah kebijakan Kementerian Keuangan dalam PMK 77/2020 terkait reformasi fiskal. Kebijakan cukai yang telah diambil diharapkan dapat mengurangi konsumsi rokok di masyarakat. Dia berharap kebijakan CHT juga dapat mengantisipasi perkembangan produk-produk baru yang beredar.

“Karena kalangan muda banyak beradaptasi dari perkembangan tren rokok dan ini yang perlu kita antisipasi bersama,” kata dia.



Baca juga: Pajak rokok bisa dijadikan sumber pembiayaan kesehatan termasuk kanker

Baca juga: BI Sultra sebut kenaikan harga LPG nonsubsidi dan rokok picu inflasi

Baca juga: Relawan Muhaimin gelar lomba "cethe" di Tulungagung

Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022