."Ini pembungkaman dunia pendidikan, saya berjuang kenapa saya dijadikan tersangka (terdakwa)," tegas Nurlela.
Jakarta (ANTARA News) - Nurlela, mantan pengajar di SLTP 56 Jakarta Selatan, dikenai pasal dakwaan berlapis karena menggelar pendidikan ilegal di bekas bangunan sekolah itu di bilangan Melawai yang ditukar guling (ruislag) oleh Pemprov DKI dengan PT Tata Disantara milik pengusaha Abdul Latief. "Perbuatan kedua terdakwa diatur dan diancam dalam pasal 62 ayat (1) juncto pasal 71 Undang-undang no 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional," kata Jaksa Penuntut Umum Kuntadi saat membacakan surat dakwaan bagi Nurlela di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa. Dalam perkara tersebut, Nurlela yang mantan guru mata pelajaran PPKN itu tidak sendirian. Ia menjadi pesakitan bersama mantan Ketua Komite Sekolah Jonni Rinon Elian karena mendirikan satuan pendidikan tanpa izin pemerintah atau ilegal. Sidang hari ini merupakan sidang perdana pemeriksaan perkara penyelenggaraan pendidikan ilegal yang sebelumnya digelar pada Rabu, 1 Februari namun ditunda karena salah satu terdakwa yaitu Jonni tidak hadir. Nurlela dan Jonni juga didakwa pasal 167 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) karena memasuki suatu bangunan tanpa ijin dan tidak mengindahkan peringatan, serta pasal 263 KUHP akibat perbuatan mereka menyebabkan siswa-siswi SLTPN 56 rugi karena tidak mendapat haknya berupa evaluasi hasil belajar di tempat itu. Kasus tersebut berawal saat Nurlela dan sejumlah guru bertahan mengajar di gedung SLTPN Melawai, Jakarta Selatan yang telah diruislag oleh Pemprov DKI dengan PT Tata Disantara. Sebagian guru itu menolak ruislag yang disebut-sebut sarat dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tersebut dan tetap bertahan di SLTPN 56 Melawai dengan jumlah siswa yang tinggal puluhan saja, bahkan melakukan kegiatan belajar mengajar di trotoar jalan saat sekolah tersebut dipasangi patok oleh Pemprov DKI Jakarta. Menurut JPU, Nurlela dan Jonni menyalahi ketentuan saat menerima murid baru tahun pengajaran 2003/2004, melakukan kegiatan belajar mengajar di bangunan eks SLTPN 56 (yang perangkat sekolahnya telah dipindahkan ke kawasan Jeruk Purut, Cilandak). Nurlela juga disebut-sebut mengangkat dirinya sebagai Pjs Kepala Sekolah, menerbitkan dan menandatangani buku rapor atas nama SLTPN 56, yang menarik pungutan uang gedung dan SPP tanpa ijin Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Dalam kesempatan itu, penasehat hukum Nurlela, Lambok Gultom mengatakan pihaknya akan melakukan pembuktian bahwa semua dakwaan tersebut tidak benar. Usai sidang, Nurlela mengatakan ia menolak dan tidak memahami hal yang didakwakan kepadanya. "Saya tidak tahu, saya memalsukan apa?," kata Nurlela yang mengaku tidak memalsukan dokumen-dokumen penyelenggaran pendidikan. Menurut mantan Pjs Kepala SLTPN 56 itu, ketiga pasal dakwaan tersebut tidak beralasan dan salah alamat. "Saya melakukan tindakan tersebut karena panggilan sebagai guru." Ia menambahkan, yang ia lakukan adalah perjuangan melawan korupsi dan menyesalkan perbuatannya itu dikategorikan tindak pidana."Ini pembungkaman dunia pendidikan, saya berjuang kenapa saya dijadikan tersangka (terdakwa)," tegas Nurlela. Persidangan itu dihadiri oleh puluhan almuni SLTPN 56 yang memberi dukungan terhadap gurunya itu, mereka bahkan sempat melakukan unjuk rasa menuntut Nurlela dibebaskan dari segala dakwaan JPU. Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Johanes Suhadi itu berlangsung sekitar 40 menit dan ditunda hingga Selasa, 21 Februari 2006 dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota keberatan para terdakwa.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006