Jakarta (ANTARA) - Mengatasi permasalahan lahirnya anak dalam keadaan kerdil atau yang akrab disebut stunting memang menjadi salah satu fokus pemerintah untuk menciptakan putra-putri bangsa yang sehat, cerdas dan dapat bersaing secara global.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, sebelumnya pernah berkata, satu dari empat anak Indonesia mengalami kekerdilan. Bahkan, satu dari 10 anak mengalami gizi kurang sehingga perlu langkah yang terencana agar negara bisa melindungi kesehatan setiap anak.

Hari demi hari, semenjak dikeluarkannya Peraturan Presiden Tahun 2021 tentang percepatan penurunan kekerdilan, para pemimpin bangsa menyiapkan sejumlah aturan dan berbagai program.

Kerja sama antar kementerian/lembaga, pelibatan pihak-pihak non-pemerintah seperti pihak industri dan perguruan tinggi semakin diperkuat. Pemerintah bahkan mulai mencermati secara detail keadaan lingkungan sebuah keluarga seperti adanya aliran sanitasi dan jamban yang dimiliki.

Program-program yang terkait dengan perbaikan gizi dalam keluarga seperti hadirnya Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat) dan pembentukan Tim Pendamping Keluarga (TPK) juga dibentuk oleh salah satu lembaga bernama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Bahkan BKKBN langsung memeriksa kondisi keluarga lewat Pendataan Keluarga Tahun 2021 (PK21) yang diperkenalkan pada publik pada tanggal 4 November 2021 lalu.

Pendataan itu disusun seapik dan sedemikian rinci agar pemerintah daerah dapat membidik sasaran yang tepat, sembari mengedukasi dan mengkoreksi gizi keluarga.

Memasuki tahun kedua, pemerintah kini mulai beramah tamah ke sejumlah daerah untuk memperkenalkan Rencana Aksi Nasional Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI) yang akan dijadikan sebagai dasar strategi untuk mengatasi masalah gizi itu.

Sebagaimana yang sudah diperkirakan, mengelilingi setiap daerah di Indonesia berarti pemerintah harus siap dengan hasil yang nantinya akan terlihat.

Tepat pada awal bulan Maret 2022, beragam warna merah, kuning, hijau hingga biru yang menjadi status keparahan kekerdilan di daerah, mulai mewarnai perjalanan pemerintah dalam memerangi kekerdilan.

Baca juga: BKKBN: Waktu Indonesia untuk raih bonus demografi kian maju

Ragam warna berbicara

Terhitung sejak tanggal 1 Maret 2022 lalu, BKKBN sudah melakukan kunjungan ke sejumlah daerah yang memiliki jumlah penduduk terbesar antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara ataupun angka prevalensi kekerdilan tertinggi seperti Nusa Tenggara Timur.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mendapati bahwa berdasarkan data dari Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021 terdapat banyak kabupaten/kota di provinsi-provinsi itu yang berstatus merah atau memiliki angka prevalensi di atas 30 persen.

Jawa Timur, misalnya memiliki empat kabupaten yang memiliki angka prevalensi di atas 30 persen yakni Kabupaten Bangkalan, Pamekasan, Bondowoso serta Lumajang.

Bila melihat ke provinsi yang lebih jauh lagi, di Nusa Tenggara Timur terdapat 15 kabupaten yang masuk dalam kategori merah karena angka kekerdilannya yang masih di atas 30 persen.

Seperti Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang dan Rote Ndao, Kabupaten Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka.

Sedangkan kabupaten/kota yang tercatat memiliki angka prevalensi di atas 46 persen adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara.

“Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau atau berpravelensi kekerdilan antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi kekerdilan di bawah 10 persen,” ujar Hasto.

Status warna selanjutnya yang ditemui pemerintah adalah kuning atau angka prevalensi 20-30 persen. Status kuning ini, terdapat di Provinsi Sumatera Utara.

Beberapa kabupaten/kota yang masuk status kuning di antaranya adalah Samosir, Simalungun, Nias Barat, Labuan Batu, Labuhan Batu Selatan, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Kota Gunung Sitoli, Kota Tanjung Balai, Kota Sibolga, Tapanuli Tengah, Karo, Toba Samosir serta Binjai.

Sedangkan kabupaten/kota yang berkategori hijau atau angka prevalensi berkisar 10-20 persen di Sumatera Utara Serdang Bedagai, Kota Medan, Asahan, Kota Tebingtinggi, Kota Pematang Siantar dan Deli Serdang.

Untuk kabupaten yang memiliki status biru atau angka prevalensi kekerdilan di bawah 10 persen salah satunya adalah Kabupaten Grobogan di Jawa Tengah.

Plt. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Murti Utami mengatakan berdasarkan Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) Tahun 2021 sebanyak 51,2 persen balita menderita kekerdilan berada di lima provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak.

Lima provinsi dengan jumlah balita kerdil tertinggi adalah Jawa Barat sebanyak 1.055.608 anak, Jawa Timur 653.218 anak, Jawa Tengah 543.963 anak, Banten 294.862 anak dan Sumatera Utara sebanyak 383.403 anak.

“Jadi tidak hanya yang jauh-jauh dari ibu kota. Ternyata Jawa Barat yang begitu dekat dengan Jakarta, juga bisa mencapai atau memiliki jumlah balita kerdil tertinggi di Indonesia,” ucap Murti.

Dia juga membeberkan kalau Indonesia memiliki tujuh provinsi dengan angka prevalensi kekerdilan tertinggi yakni Nusa Tenggara Timur 37,8 persen, Sulawesi Barat 33,8 persen, Aceh 33,2 persen, Nusa Tenggara Barat 31,4 persen.

Terdapat pula Sulawesi Tenggara 30,2 persen, Kalimantan Selatan 30 persen dan Kalimantan Barat 29,8 persen. Artinya, kekerdilan telah menyebar ke seluruh penjuru negeri dan dapat mengancam kualitas generasi penerus bangsa baik secara fisik, kemampuan berpikir juga produktif saat mereka menjalankan aktivitas sehari-hari.

Baca juga: BKKBN: Lahirnya anak dalam keadaan kerdil ditentukan dari dua generasi

Remaja dan catin

Kini, hanya tersisa dua tahun lagi untuk pemerintah berjuang mencapai angka prevalensi kekerdilan yang ditargetkan menjadi 14 persen pada tahun 2024 mendatang.

Pemerintah mulai menaruh fokus pada sumber utama penyebab masalah pada anak tersebut yakni para remaja juga calon pengantin yang kelak akan menjadi orang tua.

Hasto menyebutkan sebanyak 37 persen remaja putri telah terkena anemia atau memiliki jumlah Hb kurang dari 11,5 persen. Ketika remaja putri menjadi seorang ibu hamil, jumlah tersebut justru naik menjadi 48 persen.

Padahal, anemia yang diderita ibu menjadi salah satu faktor risiko yang membuat pertumbuhan pada kandungan ibu menjadi tidak subur dan berpotensi melahirkan bayi dalam keadaan kerdil. Apalagi jika calon ibu terkena kekurangan energi kronik (KEK) dan malnutrisi.

Menanggapi masalah anemia, Murti mengatakan Kementerian Kesehatan sedang menargetkan sebanyak 16.256.613 remaja putri mengkonsumsi tablet tambah darah yang diberikan pemerintah.

Tablet tambah darah nantinya akan dikonsumsi oleh para remaja putri satu tablet setiap pekan selama 52 pekan atau dalam satu tahun penuh dengan memanfaatkan waktu sarapan bersama ataupun hari di mana puskesmas berkunjung ke sekolah sebagai waktu untuk para remaja putri meminum obat itu.

Kemudian dalam menghadapi calon pengantin, BKKBN bersama Kementerian Agama telah meresmikan program pemeriksaan kesehatan tiga bulan sebelum calon pengantin menikah pada Jumat (11/3).

Melalui pemeriksaan tiga bulan sebelum menikah itulah, para calon ibu akan mendapatkan pendampingan untuk melakukan skrining kesehatan melalui pemeriksaan cek darah, mengukur lingkar lengan atas serta mengukur tinggi dan juga berat badan.

Nantinya, data-data kondisi kesehatan ibu akan dimasukkan ke dalam Aplikasi Elsimil (Elektronik Siap Nikah dan Siap Hamil) milik BKKBN agar Tim Pendamping Keluarga (TPK) dapat memantau kondisi ibu secara konsisten.

“Perempuan yang lingkar lengan atasnya kurang dari 23,5 sentimeter boleh menikah. Tapi kalau mau hamil, harus dinaikkan dulu supaya gizinya terpenuhi dan anak yang dikandungnya menjadi tidak kerdil,” ujar Hasto.

Fokus pada kondisi calon ibu, bukan berarti para calon ayah bebas dari tanggung jawab memeriksakan kesehatannya. Lewat program itu, calon ayah akan disiapkan supaya sperma yang diproduksi 75 hari sebelumnya, memiliki kualitas terbaik dan mengurangi sejumlah perilaku buruk seperti kecanduan obat-obatan tertentu ataupun merokok.

Sebelumnya Menteri Budi juga pernah menyarankan, bila nantinya calon pengantin membentuk keluarga, setiap anak yang dilahirkan harus rutin mendapatkan pemantauan pertumbuhan di posyandu.

Sedangkan para ibu, harus rajin memberikan ASI Eksklusif sampai anak berusia dua tahun dan rutin memberikan anak banyak asupan makanan yang mengandung protein hewani agar tidak kekurangan gizi.

Gizi yang baik adalah fondasi penting bagi seorang anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.*

Baca juga: BKKBN Jambi dan perguruan tinggi bersinergi turunkan angka kekerdilan

Baca juga: BKKBN: 13 kabupaten di Sumut miliki angka kekerdilan di atas 30 persen

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022