... devisa Indonesia sampai pertengahan September mencapai 122 miliar dolar AS dapat menjadi peluru untuk mengintervensi valuta asing...
Jakarta (ANTARA News) - Masyarakat tidak perlu panik saat mendengar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) turun karena penurunan indeks itu tidak mencerminkan kondisi sejati fundamental ekonomi nasional. Pemicu utama masih berkutat pada krisis ekonomi yang kini terjadi di Eropa Barat.

"Bila harga saham jatuh belum tentu menunjukkan perekonomian sedang gawat. IHSG bisa turun hanya karena pemegang saham grogi maka dia lepas sahamnya," kata pengamat ekonomi Universitas Trisakti, Tulus Tambunan, di Jakarta, Rabu.

Pada Selasa (4/10), IHSG BEI ditutup tertekan 79,26 poin atau 2,37 persen ke posisi 3.269,45, namun pada penutupan perdagangan Rabu (5/10), IHSG BEI ditutup naik 23,788 poin (0,72 persen) ke level 3.293,23.

Pelemahan bursa saham dalam negeri dipicu dari kondisi pasar saham eksternal yang negatif serta krisis keuangan di Eropa yang membuat investor melakukan aksi ambil untung.

"Tapi aksi ambil untung itu harus dicegah agar tidak memberikan dampak psikologis pada masyarakat seperti pada krisis 1997, karena banyak orang Indonesia yang menggunakan keuntungan dari 'hot money' untuk membeli apartemen yang balik modalnya bisa 30 tahun lagi, itu penyebab kredit macet," ujarnya.

Padahal menurut doktor ekonomi lulusan Erasmus University itu, kondisi perbankan Indonesia dalam keadaan baik dengan rasio kredit bermasalah (NPL) hanya sebesar dua persen, suku bunga bank yang rendah, ditambah Bank Indonesia yang sudah lebih siap dalam menghadapi krisis.

"Cadangan devisa Indonesia sampai pertengahan September mencapai 122 miliar dolar AS dapat menjadi peluru untuk mengintervensi valuta asing," jelas Tambunan.

Hal lain yang dicermati Kepala Pusat Kajian Industri, Usaha Kecil dan Kompetisi Bisnis Universitas Trisakti itu adalah belum ada spekulan yang memanfaatkan krisis Eropa.

"Yang menarik, hingga sekarang spekulan kok tidak mengambil kesempatan? Padahal saya ingat pada 1997 di media tidak terlalu ramai pemberitaan mengenai krisis tapi rupiah malah terus melemah karena spekulan," kata dia.

Kunci untuk menanggapi krisis Eropa bagi Indonesia menurut Tulus adalah BI bertindak serius dan pemerintah menjaga agar tidak ada goncangan politik yang signifikan, meski tetap ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi sedikit melambat dan besaran ekspor berkurang. (SDP-03)

Pewarta: Ade P Marboen
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011