Jakarta (ANTARA) - Pada 72 tahun silam, sutradara Indonesia Usmar Ismail berhasil memproduksi film berjudul "Darah dan Doa" melalui Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Tepatnya di tanggal 30 Maret 1950, Usmar dan timnya yang diisi oleh kru film nasional sepenuhnya, mulai mengambil gambar pertama mereka.

Itulah kenapa Hari Perfilman Nasional ditetapkan oleh Dewan Film Nasional di tanggal tersebut.

Baca juga: Regenerasi dan pembajakan jadi tantangan di industri perfilman

Film "Darah dan Doa" -- selain merupakan film pertama yang dibuat oleh orang Indonesia, juga sukses karena mampu menggambarkan ideologi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan mereka.

Momen ini dianggap menjadi titik bangkitnya perfilman Tanah Air, dan sosok Usmar Ismail pun diangkat menjadi pahlawan nasional sekaligus Bapak Perfilman Indonesia di tahun lalu.

Hari Perfilman Nasional pun bukan hanya menjadi momen selebrasi akan film dalam negeri, namun juga menjadi pengingat bahwa sinema merupakan media yang berani untuk bercerita dan bersuara -- seperti layaknya semangat yang dituangkan Usmar Ismail melalui karya-karyanya.

Seperti di film "Darah dan Doa" (1950) dan "Lewat Djam Malam" (1954), ia tidak takut mengangkat isu-isu seperti hak asasi manusia, hingga ambiguitas atas moralitas.

Baca juga: Ekosistem film Indonesia harus mampu lahirkan sineas baru

Wanita dan sinema Indonesia

Wajah sinema Indonesia pun tahun demi tahun semakin beragam dan berani. Mulai dari isu dan tema yang diangkat dalam film, hingga keterlibatan aktif para sineas wanita dalam proses kreatif di dalamnya.

Awal tahun ini, "Nana" ("Before Now and Then") karya sutradara Kamila Andini melakukan pemutaran perdana di Festival Film Internasional Berlin pada 12 Februari 2022.

Dalam festival tersebut, film ini dinominasikan Penghargaan Golden Bear untuk Best Film dan Laura Basuki berhasil memenangkan Silver Bear untuk Best Supporting Performance.

Di tahun lalu pun Kamila melalui "Yuni" yang mengangkat isu perempuan tayang perdana dan berkompetisi di ajang Festival Film Internasional Toronto 2021, serta di Festival Film Internasional Busan 2021 dalam program "A Window on Asian Cinema" bersama film lainnya, "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas", "Penyalin Cahaya", dan "Laut Memanggilku".

Tentu, ini merupakan sebuah percikan harapan bahwa industri film Indonesia kini lebih inklusif, dan tentu saja mampu memerikan ruang aman bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya.

Baca juga: Mengenal Usmar Ismail, pelopor film yang akan diberi gelar pahlawan

"Peran perempuan tidak lepas dalam membangun ekosistem perfilman Indonesia. (Sineas) Perempuan bukan sekadar representasi tapi juga perspektif, dan menghadirkan sudut pandang yang inklusif," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek Hilmar Farid.

Keterlibatan sineas wanita di Indonesia mungkin sudah terlihat di kursi sutradara, produser, penulis naskah, hingga tata busana dan rias.

Namun, bagaimana dengan departemen lainnya seperti sinematografi, kamera, hingga tata suara?

Duta Festival Film Indonesia 2022 Shenina Cinnamon berpendapat, jumlah kru wanita di industri film masih lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki.

"Aku yakin banyak jobdesk yang bisa dilakukan juga oleh perempuan. Biasanya perempuan identik dengan jobdesk di makeup, wardrobe, tapi perempuan juga bisa melakukan jobdesk lain seperti DoP (director of photography / sinematografer), sound, dan lainnya," kata Shenina.

Ia juga mengatakan bekerja dengan sesama wanita menciptakan ruang kerja dan kreatif yang lebih nyaman dan aman bagi aktris.

Selain itu, para pelajar film pun mulai diminati oleh perempuan, dan Shenina berharap itu bisa menjadi kesempatan sineas wanita untuk membuktikan kemampuan dan karya mereka di industri.

Baca juga: Usmar Ismail dan pertanyaan tentang identitas kebangsaan kita

"Aku berharap industri film dapat mengajak lebih banyak (talenta) perempuan, bukan hanya untuk gender tertentu," kata dia.

Bicara tentang Shenina tak lepas dari peran memukaunya sebagai seorang penyintas kekerasan seksual dalam film "Penyalin Cahaya" (2021). Film yang menceritakan soal pelecehan seksual di ranah seni tersebut agaknya masih begitu relevan, tak terkecuali di industri perfilman.

"Ruang aman bagi perempuan di perfilman Indonesia seharusnya adalah seperti layaknya sahabat sejati. Mampu mendengarkan, berbagi rasa tanpa ada ketakutan untuk dihakimi, dan memberikan solusi jika diminta seperti advokasi di jalur hukum dan mendampingi (korban pelecehan seksual). Ruang aman ini harus makin digalakkan di ruang film Indonesia," kata Duta FFI 2022 Marsha Timothy.

Marsha, yang juga dikenal melalui lakon mengagumkannya di "Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak" (2017) karya Mouly Surya tersebut pun berharap sineas wanita Indonesia bisa semakin berani mengangkat isu dan cerita yang lekat dan tulus dari dan bagi sesama wanita.

"Jika ditanya apakah (cerita tentang perempuan) sudah cukup kaya, menurut saya itu bisa lebih banyak lagi cerita yang diangkat dan mampu menyuarakan isi hati perempuan. Isu perempuan bukan itu-itu saja, lebih beragam lagi," katanya.

Baca juga: Presiden Jokowi berikan gelar pahlawan nasional kepada empat tokoh

Ruang aman di masa depan

Seperti semangat Usmar Ismail, tentu besar harapan para pembuat film Indonesia untuk menciptakan cerita inspiratif dengan tempat kreatif yang aman di baliknya.

Produser film dan Pendiri Studio Antelope Florence Giovani berharap, seiring dengan banyaknya film yang lekat dan mengangkat cerita lokal, juga lebih banyak pembuat film wanita yang merasa aman bekerja di industri perfilman.

Karena, selayaknya sebuah ekosistem yang berputar terus-menerus, kehadiran ruang aman dan inklusif di dunia film bukan hanya untuk berlabuh di hasil akhir sebuah karya.

Dan agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kekuatan film berasal dari cerita yang jujur. Kejujuran pun datang dari semangat dan asa yang ingin disampaikan oleh para kreator.

Bukan hanya nantinya mampu memproduksi kisah beragam, namun juga cerita-cerita nan penuh akan ketulusan dan empati para kreator di belakang karya tersebut juga akan terpancar jelas di layar.

Jangan sampai film yang tadinya berfokus untuk mengangkat sebuah isu sosial, malah ternyata dibuat di ruang bercerita yang tidak aman bagi kru yang terlibat.



Baca juga: PARFI ungkap rasa syukur atas gelar pahlawan untuk Usmar Ismail

Baca juga: Pengalaman menulis naskah akademis usulan pahlawan untuk Usmar Ismail

Baca juga: Peringatan HFN, Muspen terima hibah koleksi Usmar Ismail

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022