Generasi muda, milenial kita wajib terus kita libatkan
Bangko, Merangin (ANTARA) - Dini hari itu, Rabu (30/3), darah segar tumpah di areal kebun sawit di pinggir Sungai Tabir di Kampung Baru, Desa Rantau Panjang, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.

Tak hanya di satu titik, darah mengalir dari sejumlah bilah golok tajam hampir pada selang jarak 6-7 meteran yang ditandai dengan tiang tambatan. Warga riuh dan super-sibuk di lokasi "pembantaian" yang diterangi lampu listrik.

Seratusan ternak kerbau mati, ratusan warga dengan giat dan penuh semangat menguliti dan memotong-motong dagingnya di tempat yang sudah disiapkan. Daging-daging itu kemudian dijual dengan harga lebih murah yakni Rp150 ribu per kilogram.

Ya, itulah suasana pagi itu pada kegiatan tradisi "Bantai Adat" yang merupakan kegiatan rutin warga Tabir, Kabupaten Merangin setiap menjelang Ramadhan. Kesibukan itu puncak yang ditunggu-tunggu warga. Ratusan kerbau disembelih dan dagingnya menjadi bagian untuk menyiapkan sahur hari pertama Bulan Puasa.

Tak sampai di sana, tradisi "Bantai Adat" mendapat dorongan dari Pemerintah Provinsi Jambi untuk menjadi agenda pariwisata tingkat nasional. Hal itu disampaikan Gubernur Jambi Al Haris yang menyebutkan tradisi turun-temurun sejak leluhur masyarakat Tabir Merangin itu, semakin besar.

"Dalam tahun-tahun belakangan ini 'Bantai Adat' di Merangin ini semakin besar, jumlah hewan kerbau yang dipotong juga semakin banyak. Kita dorong menjadi kegiatan nasional, seperti tahun ini lebih meriah dengan kegiatan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas-BBI)," kata dia.

Daging kerbau dari penyembelihan pada tradisi "Bantai Adat" tak butuh waktu lama untuk menjualnya. Mereka yang ingin membeli daging datang dari berbagai pelosok di daerah itu. Daging berton-ton dari 120 ekor kerbau yang disembelih itu habis terjual dalam empat jam.

"Ada ratusan kerbau yang disembelih sejak dini hari tadi, dan pada pukul 08.00 WIB daging terjual habis. Tinggal sebagian jeroan yang masih dijual," kata Awi (65), seorang peserta "Bantai Adat".

Penyembelihan kerbau dilakukan mulai pukul 03.30 WIB oleh pemilik kerbau dibantu tim pengurusan tradisi "Bantai Adat".

Kerbau-kerbau yang sejak Selasa (29/3) petang sudah ditambatkan dengan menggunakan "kenikir", langsung disembelih, kemudian dikuliti, serta dagingnya dipotong langsung di lokasi itu.

Uniknya, pemotongan dilakukan secara massal pada pagi itu hingga 120 kerbau yang sudah disiapkan semuanya disembelih.

Dagingnya kemudian digantung di tempat yang sudah disiapkan di dekat tiang tambatan dan lokasi penyembelihan. Warga langsung bertransaksi di meja-meja penjualan yang disiapkan di lokasi itu.

"Alhamdulillah berjalan lancar, daging semua terjual. Harganya Rp150 ribu per kilogram," kata Awi.

Baca juga: Daging dari ratusan kerbau "Bantai Adat" terjual dalam empat jam

Bagi pemilik kerbau atau petani setempat momentum itu juga ditunggu-tunggu. Sebagian besar mengaku sudah rutin ikut membawa kerbau untuk dibantai dan dijual dagingnya pada "Bantai Adat" itu.

Namun, ada juga mereka yang baru ikut membawa kerbaunya ke ajang ini atau pendatang baru. Seperti Jusuf yang mengaku baru pertama kali membawa kerbaunya ke ajang itu. Namun, ia sudah sering hadir dan mengikuti acara itu.

"Saya baru pertama kali ini membawa kerbau ke acara 'Bantai Adat' ini. Saya siapkan kerbaunya sejak dua bulan lalu untuk acara ini," katanya.

Kerbaunya menghasilkan sekitar 140 kilogram daging, belum termasuk jeroan dan tulang. Selain itu, banyak juga warga yang membeli kepala kerbau, termasuk tanduknya.

"Ada yang beli kepala kerbau juga, semua bagiannya terjual," tambahnya.

Kerbau-kerbau itu ada yang dipelihara petani, yang selama ini dipakai untuk membajak sawah. Namun, ada juga yang khusus membeli dari luar Tabir Merangin. Termasuk dari beberapa daerah sekitar, seperti kerbau dari Kabupaten Sarolangun, Bungo, dan daerah di Sumatera Barat.

Jusuf menyebutkan kerbau yang dari petani lokal biasanya di tengkuknya agak keras bekas tumpuan alat penarik bajak. Ada pula kerbau yang sengaja penggemukan di mana tengkuk masih mulus.

"Pokoknya asal kerbau yang siap potong saja, kebanyakan jantan. Kerbau betina juga ada, namun tak banyak dan syaratnya tidak sedang bunting," katanya.

Pemeriksaan kesehatan hewan itu, melibatkan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Merangin. Petugas memastikan selain ternak itu sehat dan layak dikonsumsi, juga tidak sedang bunting. Bila diketahui sedang bunting, maka kerbau itu gugur sebagai bagian dari "Bantai Adat.

Menentukan

Juru sembelih tidak kalah penting dan menjadi bagian menentukan pada tradisi "Bantai Adat" di dusun itu, salah satunya Datuk Jalit (63), warga Rantau Panjang yang selama ini menjadi salah satu andalan menyembelih kerbau dalam tradisi tersebut.

"Saya sudah 20 tahun dipercaya untuk menyembelih kerbau pada acara 'Bantai Adat' ini, banyak kesannya menjadi bagian dari tradisi turun-temurun ini," katanya ditemui di lokasi tradisi "Bantai Adat" di pinggir Sungai Tabir itu.

Baca juga: Jelang Ramadhan, tradisi "Bantai Adat" di Merangin sembelih kerbau

Ia bukan satu-satunya juru sembelih yang bertugas dalam kegiatan "pembantaian" massal ternak kerbau itu. Ada sejumlah petugas penyembelihan lainnya. Namun, sebagai tetua yang lebih berpengalaman, ia lebih diperhitungkan.

Pria yang khas dengan kopiah hitam itu, mengaku dalam tugasnya di lokasi "Bantai Adat" bisa melakukan penyembelihan antara enam hingga tujuh ekor kerbau. Untuk menaklukkan kerbau, tidaklah mudah karena tenaga hewan tersebut cukup besar. Ia dibantu beberapa warga yang juga bertugas di lokasi itu.

Karena jumlah kerbau yang lebih dari 100 ekor, maka para juru sembelih berbagi tugas. Tugas itu yang membuat Jalit dikenal, selain menjadi salah satu tokoh masyarakat Rantau Panjang.

Sesuai dengan jadwal, penyembelihan kerbau mulai pukul 03.30 WIB. Seperti yang berlangsung pada Rabu (30/3) dinihari. Kerbau ditambatkan dengan menggunakan ikatan "kenikir" atau tali penjerat leher pada tiang tambatan yang dipancang dengan jarak lima meteran.

Di areal sekitar dua hektare di kebun kelapa sawit itu, kerbau ditambatkan dan berjejer sejak Selasa (29/3) sore. Semua dipastikan terlilit "kenikir" yang terbuat dari bilah rotan yang dibuat melingkar di leher kerbau.

"Bila kerbau sudah terlilit 'kenikir' ini, sudah tidak ada kekuatannya lagi, tak bisa berdaya. Itu filosofinya, sudah dilingkari 'kenikir' kerbau tak bisa beranjak dari tiang tambatan itu," kata Jalit yang dibenarkan Awi (65), warga lainnya di Dusun Baru.

Ketika ditanyakan dari siapa ia mendapatkan keahlian memotong kerbau di ajang "Bantai Adat", ia mengaku secara turun-temurun dari orang tuanya. Ia juga memiliki bilah golok khusus untuk penyembelihan yang tajam dan ramping.

"Orang tua saya dulu juga penyembelih kerbau, saya keturunannya yang melanjutkan tradisi keluarga," kata pria yang suka berbaju mirip jawara itu.

Ia mengaku ada beberapa pengalaman berkesan saat menyembelih kerbau. Meski demikian, selama ini ia cukup mulus menuntaskan tugasnya. Meski dalam beberapa kesempatan ia kerap mendapat perlawanan dari korbannya. Namun dengan tali "kenikir" melingkar di leher kerbau, dan tertambat ke tiang tambatan, membuat kerbau tak lagi bisa berkutik.

Ia mengaku ada perbedaan menyembelih kerbau dan sapi. Menyembelih kerbau tak terlalu sulit, meski tenaganya lebih besar. Berbeda dengan sapi yang biasanya lebih bertenaga saat akan disembelih.

"Sapi bahkan biasa menyepakkan kaki belakang yang bisa membahayakan, meski sudah diikat tali. Bisa bikin tulang cedera, kulit luka juga. Masing-masing hewan ada karakternya," katanya.

Meriah

Tradisi "Bantai Adat" tahun ini berlangsung cukup meriah dan besar karena digandeng dengan kegiatan pameran Gernas BBI.

Lokasi "Bantai Adat" sejak Selasa (29/3) sekaligus menjadi ajang pameran produk UMKM dan pelaku usaha berjualan di tempat tersebut. Cuaca yang bersahabat tidak turun hujan, membuat aktivitas warga cukup optimal memanfaatkan tradisi tersebut.

Gubernur Jambi Al Haris dan Bupati Merangin Mashuri hadir. Mereka berkomitmen mengangkat kearifan budaya lokal menjadi kekuatan daerah itu dalam meningkatkan perekonomian dan bangkit dari pandemi COVID-19.

"Kami akan dorong agar tradisi 'Bantai Adat' ini menjadi agenda nasional. Kearifan lokal yang menjadi solusi bermasyarakat. Warga diharapkan bisa memasak daging pada Bulan Ramadhan nanti, ini perpaduan tradisi dengan kegiatan keagamaan yang kami pupuk terus di masyarakat," kata Haris yang mantan Bupati Merangin itu.

Baca juga: "Bantai adat" tekan harga daging jelang Ramadhan di Merangin

Bahkan Al Haris menyebutkan tradisi "Bantai Adat" itu, bagian dari agenda Pemprov Jambi menyukseskan kegiatan G20 di mana Indonesia sebagai Presidensi G20 bertindak sebagai tuan rumah.

Tradisi "Bantai Adat" dimeriahkan dengan berbagai kegiatan keagamaan dan Gernas BBI ini, kedepannya akan menjadi ajang resmi nasional. Ada simbol budaya dan kegiatan agama yang disatukan.

Kegiatan "Bantai Adat" juga dirangkai dengan kegiatan ekonomi, pemberdayaan, dan promosi UMKM. Di arena tradisi itu, masyarakat juga bebas berjualan, seperti kuliner, kerajinan, hasil pertanian, hingga berbagai permainan anak-anak.

Budayanya, lanjut dia, tidak hanya membantai ratusan kerbau, tetapi juga memanggang 1.000 batang lemang, pertandingan "silek", dan kegiatan lainnya di Rumah Tuo Rantau Panjang.

Sebelumnya, digelar agenda keagamaannya pawai taaruf anak-anak khatam Al Quran secara massal yang mengelilingi Pasar Rantau Panjang dan berbagai keagamaan lain yang tak kalah menarik.

Bupati Merangin Mashuri menambahkan peninggalan leluhur seperti tradisi "Bantai Adat" wajib dilestarikan dan ke depan akan terus dikembangkan sehingga bisa menjadi agenda nasional. Penyelenggaraannya dari tahun ke tahun harus terus meningkat.

"Generasi muda, milenial kita wajib terus kita libatkan, sehingga mereka jadi tahu dan kenal dengan budayanya sendiri. Jika generasi muda millenial kita paham dan tahu budaya 'Bantai Adat' ini, Insya Allah akan terus lestari," katanya.

Rangkaian kegiatan "Bantai Adat" mendapat perhatian masyarakat. Mereka antusias menyaksikan kegiatan tahunan itu dengan datang menggunakan berbagai kendaraan.

Kendati jalan menuju lokasi "Bantai Adat" sempit dan kondisinya kurang bagus, tidak beraspal, hal itu tidak menjadi halangan mereka ke lokasi yang juga berdekatan dengan jembatan gantung menyeberangi Sungai Tabir itu.

Yang khas, para kaum perempuan yang hadir hampir semuanya mengenakan sarung kain batik yang merupakan pakaian wajib kaum itu ke lokasi tradisi "Bantai Adat".

Baca juga: Warga Sumedang pertahankan tradisi Gembrong Liwet jelang Ramadhan

Rata-rata mereka menggunakan kain batik dengan corak yang khas dengan warna paduan cokelat, hitam, dan merah sehingga menjadikan suasana khas dalam tradisi tersebut.

"Ya memang, perempuan yang hadir diwajibkan menggunakan kain batik Merangin yang khas. Mereka sudah tahu dan selalu datang dengan ke ajang 'Bantai Adat' ini dengan kain batik," kata Nafsiah, seorang perajin batik Merangin yang ditemui dilokasi Gernas BBI.

Kain batik yang menyerupai sarung itu dikenakan sebagai kain bawahan, sehingga menjadi pemandangan khas di mana kaum perempuan, kecuali gadis kecil, seragam berkain batik.

Ada juga pengunjung dari luar Merangin membeli kain batik untuk mereka kenakan selama kunjungan ke lokasi "Bantai Adat".

Tradisi "Bantai Adat" menjadi salah satu kekayaan budaya Kabupaten Merangin, di samping kekayaan hayati Geopark Merangin, yang saat ini tengah diperjuangkan agar mendapat pengakuan UNESCO (Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan), sebagai salah satu warisan dunia.

Baca juga: Tradisi baik jelang Ramadhan perlu dilestarikan
Baca juga: Warga Bangka Belitung melaksanakan tradisi ruwahan
Baca juga: Tradisi perang ketupat untuk menyambut Ramadhan digelar di Tempilang

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022