Kuala Lumpur (ANTARA News) - Keamanan Indonesia akan terancam jika terjadi hal yang tak diinginkan di Laut China Selatan akibat beberapa negara mengklaim bagian-bagian dari kawasan itu merupakan kedaulatan mereka, yang diyakini menyimpan sumber daya minyak dan gas yang besar.

"Walaupun bukan termasuk di antara negara-negara yang mengklaim wilayah itu, keamanan Indonesia bisa terancam jika terjadi ketegangan dan hal-hal yang bertambah buruk di sana," kata dosen Fisip Universitas Indonesia, Dr Connie Rahakundini Bakrie kepada ANTARA di Kuala Lumpur, Selasa.

Connie yang berada di ibu kota Malaysia itu menjadi salah seorang panelis dalam seminar internasional bertema "South China Sea Disputes: The Road to Peace, Stability and Development", Senin.

Lebih jauh dia mengatakan sebagai Ketua ASEAN, Indonesia harus mendorong para pihak untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di kawasan itu dan kerja sama di antara mereka yang mengklaim (claimants).

Dia juga mengusulkan para pihak yang memiliki kepentingan di Laut China Selatan atau LCS didorong untuk membangun cadangan minyak strategis dengan mengikutsertakan Taiwan.

Vietnam, Filipina, Brunei, Malaysia, yang merupakan negara anggota Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bersama China dan Taiwan memiliki klaim tumpang tindih atas bagian-bagian dari LCS.

Vietnam dan Filipina menuding China menjadi bertambah agresif dalam menyatakan klaimnya atas kawasan ini.

"Tak mungkin kita bahas Laut China Selatan tanpa keikutsertaaan Taiwan di dalamnya," kata Connie, yang juga Direktur Eksekutif Institut of Defence and Security Studies.

Dalam seminar itu, Connie membahas makalah dengan judul

"Internalization of South China Sea and the New GOD". Menurut dia, masalah LCS harus diselesaikan oleh pihak-pihak terkait di kawasan itu tanpa campur tangan negara-negara di luar kawasan.

China sebagai negara penanda tangan, katanya, harus menghormati UNCLOS 1982 dan "Declaration on the code of conduct (DOC".

Keamanan di LCS mencapai puncak ketegangan dalam dua tahun terakhir ini yang ditandai dengan pendudukan baru, klaim baru, penangkapan kapal ikan dan kegiatan-kegiatan lain.

Para pihak yang terkait masalah itu tidak hanya menggunakan kata-kata keras dan provokatif satu sama lain tetapi juga mempersiapkan skenario menggunakan kekuatan jika terjadi hal-hal yang lebih buruk. Mereka meningkatkan belanja untuk militer.

Situasi ini sebenarnya tak dikehendaki sesuai dengan butir-butir dalam DOC tahun 2002 untuk mengelola konflik. Karena DOC bersifat tidak mengikat untuk menjamin usaha menahan diri dan pelaksanaan komitmen para pihak. Karena itu para pihak perlu memiliki COC yang mengikat secara hukum.

DOC merupakan prestasi yang dicapai para pihak untuk menyelesaikan perselisihan di LCS menuju perdamaian dan stabilitas di kawasan itu.

"Sayangnya setelah hampir 10 tahun pelaksanaan, banyak dari isi DOC belum benar-benar dilaksanakan," kata Wakil Direktur, Centre for South China Sea Studies, Diplomatic Academy of Vietnam, Dr. Nguyen Thi Lan Anh, kepada ANTARA.

Sebagai dokumen rekomendasi, kata Nguyen Thi Lan Anh , DOC telah gagal untuk mencegah babak baru ketegangan, pendudukan baru dan klaim-kalim baru.

Karena itu diperlukan Code of Conduct (COC) yang mengikat untuk mengoreksi kelemahan-kelemahan lain dari DOC, katanya.



ASEAN perlu bahas

Terkait dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang akan diadakan di Bali November nanti, Anh mengatakan para anggota ASEAN hendaknya membahas soal itu dan mengambil kata mufakat dan sikap bersama mendukung COC sebagai dokumen yang mengikat untuk mengatur perilaku negara-negara di LCS.

Dalam paparannya, Anh mengatakan isi utama dari COC memberikan penekanan pada kerja sama dalam SAR, keselamatan navigasi, pemberantasan kejahatan transnasional, perlindungan lingkungan hidup dan riset ilmiah.

"Inilah bidang yang para pihak bisa lakukan bersama dan mudah untuk mencapai konsensus kerja sama dan memuluskan jalan bagi kerja sama di sektor-sektor yang sulit seperti eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam," tambahnya.

Terkait dengan mekanisme penegakan, COC yang akan datang harus fokus pada mengembangkan langkah-langkah manajemen konflik

Untuk mencapai COC yang diinginkan nanti, menurut dia, mekanisme negosiasi yang ada saat ini seperti ASEAN, ASEAN plus, Asean Regional Forum (ARF) dan East Asian Summit (EAS) dapat digunakan.  (M016/A011)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011