Pekanbaru (ANTARA News) - Kepiawaian Mari Elka Pangestu dalam mengendalikan inflasi melalui kiprahnya mengatur perdagangan sejumlah komoditas strategis, telah membuatnya banyak dikagumi menteri-menteri perdagangan dunia.

"Banyak negara di Asia yang belum mampu menekan inflasi seperti di Indonesia," ujar mantan Kepala Dewan Penunjang Ekspor, Ismeth Abdullah kepada ANTARA, melalui jejaring komunikasi, Selasa.

Karena itu, menurutnya, sayang jika ekonom sekaliber Pangestu `dibuang` begitu saja. "Makanya, wajar jika tokoh sehebat dirinya dipakai lagi di pos baru," tegasnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, ekonom dari CSIS itu yang menjabat Menteri Perdagangan sejak 2004 di era Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I dan dua tahun KIB II, terkena dampak proses `reshufle`.

Pangestu digantikan oleh mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Gita Wiryawan, lalu dirotasi menduduki jabatan baru sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

"Para pelaku bisnis dan pemikir serta pengamat ekonomi tak persoalkan seorang yang masih atau belum berpengalaman mengendalikan dinamika perdagangan, dipakai presiden untuk jabatan Menteri Perdagangan," kata Ismeth Abdullah, yang juga ekonom jebolan FE UI ini.

Tetapi, yang jadi sorotan kritis sekarang, menurutnya, agar Mari Pangestu dengan segudang kemampuan akademik maupun pengalaman manajerialnya, bisa dimanfaatkan terus bagi kepentingan nasional.

"Jadi, mengingat pengalaman dan reputasinya dalam perdagangan internasional selama ini, di mana beliau sangat disegani di kalangan menteri-menteri perdagangan di dunia, pantaslah dimanfaatkan untuk kepentingan negara di tengah dinamika resesi global sekarang," ujarnya.


Berjasa Kendalikan Inflasi

Ismeth Abdullah menambahkan, di dalam negeri pun, Mari Pangestu berjasa menjaga keseimbangan `supply and demand` dari sebagian komoditi (strategis).

"Sehingga, membantu menekan inflasi, atau mengendalikan fluktuasi inflasi dari tahun ke tahun. Ini prestasi besarnya, meskipun banyak pihak yang keliru menilainya dengan tudingan macam-macam. Itu pun tak ditanggapinya negatif, tetapi dengan meningkatkan kinerja," ungkapnya.

Mari Pangestu bahkan, menurutnya, sering dijadikan sasaran tembak, jika ada kebijakan impor komoditas strategis seperti beras, yang sesungguhnya bukan dirinya sendiri harus bertanggungjawab untuk itu.

"Bahwa ada kejadian produksi banyak komoditi yang belum mencukupi kebutuhan nasional, tentu tidak bisa disalahkan pada beliau, karena ada menteri-menteri lain yang mengurus sektor produksi, seperti menteri pertanian," kata mantan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) ini.


Untuk Kesejahteraan Rakyat

Ismeth Abdullah mengatakan pula, bila produksi (komoditas strategis tertentu) kurang tersedia (sisi `supply`), sedangkan permintaan (`demand`) tinggi, otomatis ini mesti dilengkapi atau diseimbangkan dengan kebijakan impor.

"Kalau tidak, maka harga naik dan mendorong meningkatnya inflasi. Padahal, kebijakan makro ekonomi KIB pimpinan Presiden Yudhoyono itu menekan inflasi guna mensejahterahkan rakyat," ungkapnya.

Kebijakan dan kinerja Kementerian Perdagangan, lanjutnya, akhirnya bisa membuktikan hasil maksimal dalam hal mengendalikan inflasi untuk kesejahteraan rakyat tersebut.

"Dan buktinya, banyak negara di Asia yang belum mampu menekan inflasi seperti di Indonesia. Ibu Mari Pangestu dengan kepiawaiannya mengatur perdagangan komoditas, mampu melakukannya," ujar Ismeth Abdullah. (M036)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011