Denpasar (ANTARA News) - Lebih dari 150 orang dari berbagai daerah seperti Jakarta, Tangerang, Yogyakarta, Semarang, Solo, Bali, Aceh, dan Samarinda yang tergabung dalam Komunitas Pecinta Anand Ashram mengelar aksi damai di depan Kantor Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Selasa.

"Aksi simpatik di depan Kantor Kejati ini untuk mendukung pihak penegak hukum agar terus independen dalam menangani kasus Anand Krishna," kata dr Sayoga yang bertindak sebagai juru bicara Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA).

Dalam siaran persnya yang diterima di Denpasar, Selasa malam, dia berharap penanganan kasus pelecehan seksual dengan terdakwa Anand Krishna tersebut dilakukan berdasarkan hati nurani dan perundang-undangan yang berlaku, bukan berdasarkan pesanan pihak tertentu.

Massa KPAA diterima dengan ramah oleh polisi yang menjaga gerbang Kejati DKI Jakarta di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. "Kami mendapat acungan jempol dari aparat kepolisian yang melihat kami melakukan aksi damai," ujar Sayoga.

Dia bersama perwakilan massa KPAA berkesempatan diterima oleh Wakil Kepala Kejati DKI Jakarta Abdoel Kadiroen SH MH yang didampingi Asisten Tindak Pidana Umum Heru Sriyanto SH.

"Di tengah ramah tamah dadakan itu, kami melihat Martha Berliana Tobing yang bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus Anand Krishna, memantau dari ruang atas," katanya.

Saat aksi berlangsung di luar ruangan, rombongan KPAA yang dipimpin oleh Sayoga dan Prashant, putera Anand Krishna, menjelaskan kepada pihak Kejati terkait beberapa kejanggalan dalam penanganan kasus pelecehan seksual itu.

"Kami juga menekankan mengenai tindakan Jaksa Martha Berliana yang memerintahkan pihak RS Polri untuk mencabut selang infus pada Anand Krishna dan mengembalikan terdakwa itu ke Rutan Cipinang pada 30 Maret 2011," ujarnya.

Prashant menjelaskan bahwa kurang dari 48 jam kemudian, ayahnya itu mengalami stroke ringan dan kadar gulanya turun drastis menjadi 64, sehingga segera dilarikan kembali ke RS Polri.

"Untung ada dokter jaga yang langsung dapat menangani, sehingga ayah saya tidak sampai `collapse` dan koma," ucapnya seraya bertanya, "Bila terjadi apa-apa, siapa yang mesti bertanggung jawab?"

Dia menilai pencabutan selang infus yang menyebabkan terdakwa koma itu merupakan pelanggaran HAM berat, sehingga pihaknya melaporkan fakta tersebut ke Komisi HAM ASEAN. "Kami juga melaporkan ke pihak PBB, karena lembaga itu telah berafiliasi dengan Yayasan Anand Ashram," kata Prashant.

Sementara itu, Sayoga juga menjelaskan mengenai banyaknya kejanggalan seperti misalnya Jaksa Martha Berliana bisa membawa barang bukti lain yang tak ada dalam daftar sitaan.

Kemudian mengenai adanya hasil visum kepolisian terhadap pelapor Tara pada Maret 2010 yang dikeluarkan pihak RSCM dan ditandatangani oleh ahli forensik dr Abdul Mun`im, SpF.

Sesuai hasil visum itu, katanya, tidak ditemukan tanda-tanda terjadinya kekerasan seksual, dan selaput dara korban dinyatakan masih dalam keadaan perawan.

Sayoga juga menyayangkan kedisiplinan JPU Martha Berliana yang kehadirannya dalam persidangan hampir selalu terlambat, tidak memiliki bukti pendukung tetapi menghentikan perkara (P21).

Setelah menyampaikan aspirasi di Kejati, anggota KPAA menghadap petugas di bagian Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya guna menanyakan tindak lanjut dari laporan terkait pencemaran nama baik. Perbuatan tidak menyenangkan itu telah dilaporkan sejak tahun lalu.

"Kami minta agar Tara Pradipta Laksmi, Sumidah Veronica, Muhammad Djumaat Abrory Djabbar, dan Shinta Kencana Kheng yang kami laporkan dalam perkara pencemaran nama baik itu, segera dipanggil dan diusut," demikian Sayoga. (T007/Z002)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011