peluang tetap bisa mengkonsumsi rokok karena bisa diecer
Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari CHED ITB Ahmad Dahlan Jakarta Adi Musharianto mengatakan rokok eceran dapat memberikan keuntungan profit pada penjual rokok sebesar 20 hingga 30 persen atau sama dengan Rp4.000 hingga Rp7.500 per bungkusnya.
 

“Ini akan meningkatkan daya beli rokok terutama bagi anak-anak yang masih sekolah dan orang miskin yang memiliki keterbatasan pendapatan untuk membelanjakan barang,” kata Adi dalam Webinar Diseminasi Hasil Survei Harga Transaksi Pasar Rokok 2021 yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
 

Adi menyebutkan bila satu bungkus rokok dengan isi 16 batang dijual (HTP) seharga Rp25.000 kemudian dijual kembali dengan harga per batang Rp2.000, maka profit ekstra yang didapatkan oleh penjual bisa mencapai Rp7.000 per bungkusnya.
 

Hal itu disebabkan banyak dari masyarakat khususnya pelajar dan masyarakat berpendapatan rendah, memiliki akses yang mudah dalam menikmati rokok eceran tersebut. Banyak di antara mereka membeli rokok eceran di tempat yang tidak memiliki izin dagang secara resmi.

Baca juga: Pelajar Indonesia minta pemerintah kendalikan konsumsi rokok

Baca juga: Dinkes-BPJS Kesehatan kampanyekan berhenti merokok

 

Berdasarkan hasil survei dengan standar acuan HJE-HTP pada PMK 198/010/2020 yang dilakukan pada area Jabodetabek oleh CHED, sebanyak 85 persen penjualan rokok eceran dijual oleh para pedagang kaki lima.
 

Kemudian sebanyak 80 persen ditemukan di terminal atau stasiun, 75 persen di pom bensin SPBU, 71 persen pada grosir, 75 persen ditemukan di pasar tradisional dan 0 persen pada minimarket. Dari keenam titik penjualan tersebut, rata-rata penjualan harian rokok di area Jabodetabek dapat mencapai Rp408.946 per harinya.
 

Selain karena mudahnya akses pada rokok eceran, profit semakin meningkat karena adanya pola pikir kedua kelompok yang tetap dapat menikmati rokok bermerek populer dengan harga yang rendah. Dari hasil survei, terdapat lima merek terkenal yang mudah diakses yaitu Malboro Merah, Sampoerna Mild, Dji Sam Soe, Gudang Garam Filter dan Djarum Super.
 

“Ini juga memberikan peluang bagi mereka untuk tetap bisa mengkonsumsi rokok karena bisa diecer. Walaupun sebungkus harganya Rp30.000 dengan isi 10 sampai 12 batang, jika dia memiliki uang Rp10.000 berarti setidaknya dia bisa membeli tiga batang rokok,” ujar dia.
 

Peneliti dari lembaga yang sama Diyah Hesti K. menyebutkan bila melihat data milik Badan Pusat Statistik tahun 2021, rokok juga telah menjadi prioritas belanja kedua dalam rumah tangga setelah beras.
 

Seharusnya dengan melihat bahaya dari rokok eceran tersebut, kata Diyah, pemerintah perlu mengendalikan penjualan rokok melalui lewat pembatasan seperti yang dilakukan oleh Jepang.
 

Di mana Jepang menerapkan sistem jual beli rokok hanya dapat dilakukan secara terbatas di toko-toko yang memiliki izin resmi.
 

Namun melihat kondisi di Indonesia, Diyah menyarankan pemerintah untuk melarang penjualan rokok secara eceran karena sudah mencapai 70 persen lebih di sejumlah titik penjualan.
 

Pemerintah juga perlu mengendalikan tembakau dengan simplifikasi struktur tarif cukai agar administrasi pemungutannya lebih sederhana dan memudahkan pengawasan peredaran rokok.
 

“Penjualan banyak diakses oleh masyarakat rentan seperri masyarakat miskin dan anak muda. Mereka beralih membeli rokok batangan, dibandingkan rokok kemasan, jadi perlu dikendalikan,” kata Diyah.

Baca juga: Ratusan pelajar tolak jadi target industri rokok

Baca juga: Pelajar Kota Bogor dukung Perda KTR

 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022