Banjarmasin (ANTARA) - Perbincangan anggota komunitas subuh yang berkumpul di warung teh Yatim Mama Munzir, samping Mesjid Jami, Sungai Jingah Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pagi minggu ini tertuju pada sebuah rumah tua yang terletak di samping warung tersebut.

Seorang anggota komunitas, nyeletuk rumah tua atau rumah bahari ini benar-benar dirancang untuk hemat energi, sebab begitu banyak sekali jendelanya, dari depan rumah hingga belakang berjejer jendela.

Selain banyak jendela pada rumah tersebut juga masih ada ventilasi untuk sirkulasi udara masuk ke dalam rumah, sementara bentuk bubungan rumah begitu tinggi meruncing ke atas, sehingga langit langit rumah juga menjadi tinggi.

Menurut obrolan anggota yang nongkrong di warung seusai sholat subuh tersebut, rumah orang bahari ini banyak maknanya.

Khususnya untuk nyaman tinggal di dalam rumah, sebab tanpa alat pendingin seperti "AC" dalam rumah sudah dingin, terutama saat jendela jendela itu dibuka karena angin begitu mudah masuk ke dalam rumah.

Begitu juga dengan pencahayaan di mana sinar mentari begitu mudah masuk dari berbagai sudut tanpa diberi lampu penerangan ruangan rumah sudah terang benderang.

Dengan kondisi bangunan demikian praktis rumah orang tua dulu hemat listrik yang berarti hemat energi, apalagi keliling rumah penuh dengan pepohonan nan rindang.

"Seharusnya kita kembali membangun rumah seperti orang dulu," kata Sakip, seorang jemaah yang ikut nimbrung di kelompok ngobrol pagi itu.

"Tapi kan sekarang kalau banyak jendela bisa kurang aman," kata Mahyudin menimpali.

"Itu gampang, tinggal dibantu dengan teralis" jawab Sakip.

Bagaimanapun kata Sakip, sudah selayaknya masyarakat saat ini melakukan penghematan listrik, agar bahan pembangkit listrik bisa dikurangi.

Mencermati isi obrolan kelompok bapak paruh baya itu, maka bisa dikatakan ada benarnya, sebab jika boros listrik berarti boros energi. Sementara energi yang selama ini digunakan hampir semuanya berasal dari bahan yang bisa merusak alam.

Sebut saja minyak bumi kalau diambil terus-menerus tentu akan merusak alam, begitu juga gas alam, yang terakhir yang menjadi andalan energi saat ini adalah batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), padahal batu bara salah satu bahan yang tak bisa diperbaharui.

Jika batu bara yang berada di lapisan bumi terus diambil untuk listrik ini maka lambat laut lapisan bumi akan rusak.

Pada gilirannya tutupan lahan hutan juga terus rusak yang bukan saja bisa menimbulkan banjir dan kekeringan.

Tetapi juga menghilangkan kehidupan ribuan plasma nutfah, baik tanaman maupun hewan yang merupakan kekayaan yang tak ternilai, dan itu adalah ciptaan Tuhan.
G20, energi dan lingkungan

Saat ini, bicara soal energi dan lingkungan seakan tidak terlepas Forum G20 di mana Indonesia menjadi Presidensi G20 tahun 2022.

Salah satu prioritas isu yang diusung Indonesia dalam Presidensi G20 Indonesia 2022 adalah mendorong transisi energi bagi keberlanjutan ekosistem global.

G20 diyakini bisa menjadi momentum memantapkan komitmen bersama dalam penguatan kerja sama dan sinergi antarpemerintah, akademisi, dan industri untuk menciptakan ekosistem transisi energi yang optimal.

Presidensi G20 di Indonesia, juga diyakini akan jadi momentum kebangkitan dan kemandirian industri energi nasional, dalam menghadapi permasalahan perubahan iklim yang menjadi ancaman global.

Seorang akademi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Prof Muhammad Hatta yang dikenal sebagai mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Menristek RI tersebut, mengakui jika batu bara diambil terus akan berdampak terhadap kerusakan alam.

"Sekarang saja sering terjadi banjir, dan banjir lokasi terus meluas dan itu tak usah dibantah akibat kerusakan alam kita," kata Hatta.

Menurut dosen di Fakultas Kehutanan ULM ini, sudah selayaknya beralih dalam pemanfaatan energi yang merusak alam, seperti energi air, energi angin atau bayu, serta energi matahari.

Energi yang disebut belakangan ini sangat ramah lingkungan, tinggal bagaimana kemauan untuk menciptakannya, apalagi teknologi ke arah itu sudah dikuasai, tunggu apalagi jika ingin lingkungan menjadi lestari.

"Memang investasi awal cukup besar dalam memanfaatkan energi ini, tetapi setelah itu biaya energi ini akan menjadi murah, " tuturnya seraya mengakui lagi belum berbicara pemanfaatan nuklir.

Ia mencontohkan di Kalimantan, banyak sekali sungai yang bisa dibendung untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan multi manfaat. Bukan hanya listrik tetapi juga persawahan dan penyediaan air bersih.

Jika kian banyak PLTA, maka dalam pegoperasian dan pemeliharaannya dibutuhkan air.

Untuk persediaan air dalam jumlah banyak, maka harus banyak hutan yang ujung-ujungnya adalah pentingnya penyelamatan lingkungan.

Muhammad Hatta mengakui pemanfaatan energi ramah lingkungan ini terjadi tarik ulur, ada yang mendesak harus dibangun tapi ada juga keinginan tetap menggunakan batu bara, karena mudah dan mungkin juga ada bisnis.

Jika hal tersebut sulit dilakukan, maka pilihan terakhirnya ia mengajak seluruh masyarakat melakukan sebuah gerakan hemat energi, dan itu bisa dilakukan oleh semua orang.

"Kalau bisa jalan kaki kenapa harus naik kendaraan. Kalaupun terpaksa ya bisa naik angkutan masal," tambahnya.

Begitu juga di rumah, kalau masih dingin mengapa harus hidupkan "AC", kalau terang saja mengapa harus nyalakan lampu.

Begitu seterusnya, jika semua ini dilakukan menyeluruh maka akan mampu menghemat energi yang pada gilirannya mengurangi pemakaian batubara, minyak bumi, atau gas bumi.

Di berbagai negara sudah melakukan gerakan penghematan energi ini.

Membangun bangunan fisik yang ramah lingkungan, termasuk membangun sistem penerangan rumah dengan cara otomatis.

Jika pintu rumah tertutup saat pergi semua alat penerangan mati secara otomatis, dan jika pintu dibuka baru listrik bisa dinyalakan.

Gerakan tersebut tidak menimbulkan biaya mahal tinggal kesadaran bersama.

Intinya ayo hemat energi untuk mengurangi pemanfaatan batubara, minyak bumi dan gas alam.

Pada gilirannya mampu menyelamatkan lingkungan, karena lingkungan lestari adalah segala galanya, karena lingkungan ada air, lingkungan ada oksigen, dan lingkungan ada pangan.

Buat apa membangun bangunan mewah jika merusak ketersediaan air, mengurangi oksigen, dan menghilangkan sumber pangan.

Bila itu tetap dilakukan tanpa peduli lingkungan, sama saja dengan menamatkan kehidupan ini.
Baca juga: PLN dan "energi hijau" untuk G20
Baca juga: Transisi energi jadi penggerak dalam menciptakan lapangan pekerjaan
Baca juga: Sidang ETWG-1G20 selesai, tiga agenda disepakati secara aklamasi

 

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2022