"dapatkah laporan pengawas atom PBB tersebut dijadikan pembenaran untuk memulai perang melawan Iran"?
Jakarta (ANTARA News) - Temuan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) bahwa Iran "mungkin sedang berusaha membuat senjata nuklir" memicu beragam reaksi termasuk kemungkinan itu dijadikan dalih untuk memerangi negara Persia tersebut dan membuat tekad Israel makin bulat melancarkan serangan.

Tanda-tanya mengenai program nuklir Iran telah beredar selama bertahun-tahun dan menimbulkan kekhawatiran di Barat bahwa Teheran "secara diam-diam sedang menyiapkan diri untuk membuat hulu ledak nuklir".

Iran dengan tegas membantah kekhawatiran Barat itu. Menurut Iran ambisi nuklir negara Persia itu semata-mata bertujuan menghasilkan energi, dan mereka tak memiliki rencana memperkaya uranium untuk membuat senjata nuklir. Barat, terutama Amerika Serikat dan sekutu tereratnya --negara Yahudi-- malah berpendapat sebaliknya.

Dan laporan 25 halaman IAEA pada Selasa (8/11), yang dibuat selama satu dasawarsa, menambah kuat keyakinan semua musuh Iran. Badan pengawas atom PBB tersebut menyatakan ada bukti yang dapat dipercaya bahwa "Iran telah melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan senjata nuklir" setidaknya sampai akhir 2003.

Itu adalah suatu bukti paling keras yang pernah dikeluarkan mengenai kegiatan nuklir Iran, dan Gedung Putih menyatakan laporan tersebut "menakutkan".

Iran tentu saja mengecam laporan IAEA itu, dan menuduhnya berlatar-belakang politik serta menjadi alasan untuk melancarkan aksi militer terhadap Iran.

Meskipun laporan tersebut tak menyatakan Iran memiliki teknologi untuk membuat senjata nuklir, tapi IAEA memang melaporkan bahwa Iran "telah memiliki informasi rancangan peledak nuklir" serta contoh komputer tentang peledakan nuklir.

Sebagai reaksi atas laporan IAEA, Presiden Mahmoud Ahmadinejad, Rabu (9/11) mengatakan negaranya "takkan mundur setapak pun" dari jalur nuklirnya.

Prancis bereaksi dengan menyampaikan maksud untuk mengadakan pertemuan Dewan Keamanan PBB guna membahas laporan IAEA tentang program nuklir Iran.

Tapi China, salah satu anggota pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB, menyatakan bahwa Beijing akan mempelajari laporan tersebut namun menahan diri dari membuat komentar apa pun mengenai tuduhan terhadap Iran.

Kenyataannya, badan pengawas nuklir PBB itu tak menemukan bukti senjata atom yang ditembakkan, meskipun lembaga tersebut berhasil memicu kekhawatiran bahwa Iran melanjutkan penelitiannya mengenai senjata nuklir.

Menurut stasiun TV Amerika, Fox News, IAEA tak mengatakan Iran sedang membuat senjata nuklir, tapi menyatakan Iran "sedang mengumpulkan semua keterangan yang diperlukan untuk melakukan itu. Iran memiliki banyak teknologi".

IAEA mengkalim Iran memiliki model komputer mengenai hululedak nuklir --yang dipandang oleh pengawas PBB itu sebagai "petunjuk yang mungkin bahwa Iran berencana membuat bom atom".

Bukti lain, katanya, ada gambar satelit mengenai tabung baja yang "mungkin digunakan secara diam-diam untuk menguji peledak berkekuatan tinggi yang diperlukan untuk memicu senjata nuklir".

"Laporan intelijen" yang diberikan kepada para pejabat nuklir PBB memperlihatkan "pemerintah Iran telah menguasai langkah kritis untuk membuat senjata nuklir, dengan menerima bantuan dari ilmuwan asing guna mengatasi penghalang teknis", kata diplomat Barat dan ahli nuklir yang mendapat penjelasan mengenai temuan terakhir IAEA.

Namun sebagian orang, seperti mantan pejabat CIA Philip Giraldi, dilaporkan memiliki keraguan besar mengenai nilai laporan IAEA itu.

Ia meragukan laporan IAEA sebab menurut dia badan pengawas atom PBB tersebut sendiri tak memiliki kemampuan intelijen. Badan itu mengandalkan laporan yang datang dari orang lain. "Saya memiliki dugaan lebih kuat laporan ini datang dari AS dan Israel," kata Giraldi sebagaimana dikutip media trans-nasional.

Preseden mengenai pendapat Giraldi sudah ada; laporan palsu dinas intelijen AS untuk membuat kasus bagi dilancarkannya perang di Irak menimbulkan kekhawatiran mengenai ketepatan laporan paling akhir badan tenaga atom PBB mengenai Iran.

Orang mungkin memiliki sepotong bukti, dan potongan bukti tersebut dijadikan landasan penafsiran. "Ketika orang melihat gambar udara di Irak yang memperlihatkan kondisi tertentu, mereka menafsirkan gambar itu untuk membenarkan pendapat mereka," kata Giraldi.

Pada 2003, AS ngotot bahwa bukti yang dimilikinya mengenai "senjata pemusnah massal Irak dan kemampuannya untuk melancarkan aksi teror sangat kuat".

Semua "citra satelit mengenai satu pangkalan tempat Saddam Hussein `diduga` melatih anggota Al-Qaeda, bukti tentang laboratorium bergerak buat senjata biologi, tabung alumunium yang menjadi alat sentrifugal untuk memperkaya uranium" terbukti palsu. Tapi tetap saja itu cukup untuk mengobarkan perang dan melancarkan agresi yang berlangsung selama delapan tahun selama saat itu menewaskan 100.000 warga sipil, menurut perhitungan Amerika. Hingga sekarang lebih dari satu juta orang Irak kehilangan nyawa akibat tuduhan tanpa bukti Amerika Serikat.

Sementara itu pejabat senior Israel, sekutu paling erat dan asuhan AS, telah menyatakan negara Yahudi tersebut sedang mempertimbangkan untuk melancarkan serangan "pre-emptive" --mendahului musuh.

Tindakan semacam itu pun bukan sesuatu yang baru bagi negara Yahudi. Pada 1981, perdana menteri Menachem Begin mengirim delapan pesawat F-16 untuk menghancurkan reaktor nuklir Irak yang mendekati tahap penyelesaian dan diduga oleh Yahudi akan menghasilkan plutonium buat hululedak nuklir.

Begin belakangan mengatakan serangan tersebut adalah bukti negaranya "dalam kondisi apa pun akan membiarkan musuh membuat senjata penghancur massal terhadap rakyat kita"

Tindakan tersebut didefinisikan sebagai satu strategi yang belakangan terkenal sebagai "Doktrin Begin" dan selanjutnya dirangkai sebagai "pertahanan terbaik adalah serangan mendahului yang sangat keras".

Bantuan Barat
Program nuklir Iran sendiri diluncurkan pada 1950-an dengan bantuan Amerika Serikat sebagai bagian dari program Atom bagi Perdamaian. Dukungan, dorongan dan keterlibatan Amerika Serikat serta pemerintah Eropa Barat dalam program nuklir Iran berlanjut sampai Revolusi Iran 1979, yang menggulingkan Shah Iran.

Kendati arus teknologi awal berjalan lancar ke Teheran, dukungan pemerintah Barat untuk program nuklir Iran mulai terkikis sebelum Revolusi Islam 1979. Pada Agustus 1974, perkiraan intelijen khusus nasional AS menyatakan meskipun "keinginan tenaga nuklir Iran yang banyak dipublikasikan sepenuhnya berada pada tahap perencanaan", ambisi Shah dapat membawa Iran mengejar senjata nuklir, terutama di bawah bayang-bayang keberhasilan ujicoba nuklir India pada Mei 1974.

Keprihatinan itu membuat pemerintah Barat menarik dukungan bagi program nuklir Iran.

Tekanan Prancis, yang pada 1973 menandatangani kesepakatan untuk membuat dua reaktor di Darkhovin, dan Jerman --yang Kraftwerk Unionnya mulai membuat sepasang reaktor di Bushehr pada 1975, mengakibatkan dibatalkannya kedua proyek tersebut.

Setelah Revolusi Islam, penyanderaan warganegara AS, dan pemutusan hubungan diplomatik pada 1979, penentangan AS bagi upaya nuklir Iran meningkat selama 1980-an dan 1990-an. Washington juga menghalangi kesepakatan nuklir antara Iran dan Argentina, China, serta Rusia.

Mohammad Javad Zarif, mantan duta besar Iran untuk PBB, menulis di Journal of International Affairs, Columbia University, pada 2007 bahwa tindakan Washington menghentikan dukungan bagi program energi nuklir Iran membuat Teheran tak memiliki pilihan kecuali bergerak secara diam-diam dalam kegiatan nuklirnya.

"Untuk menghindari rintangan dan pembatasan pimpinan AS," tulis Zarif, "Iran menahan diri dari mengungkapkan perincian programnya."

Setelah tertunda, pembangkit listrik tenaga nuklir pertama Iran, reaktor Bushehr I, secara resmi dibuka dalam upacara pada 12 September 2011. Tapi Iran belum memiliki rencana untuk menyelesaikan reaktor Bushehr II, meskipun pembuatan 19 instalasi listrik tenaga nuklir ada dalam rencana. Iran telah mengumumkan negara tersebut sedang mengerjakan instalasi baru pembangkit listrik tenaga nuklir 360MW yang berada di Darkhovin. Iran juga telah menyatakan Teheran akan berusaha membuat instalasi listrik tenaga nuklir berukuran medium dan tambang uranium pada masa depan.

Tapi keraguan mengenai i`tikad Iran pertama kali muncul pada Agustus 2002, ketika kelompok oposisi Iran yang berpusat di London, Inggris, mengungkapkan perincian instalasi rahasia produksi air-berat di Arak, serta instalasi bawah tanah pengayaan uranium di Natanz. Pada Mei 2003, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Richard Boucher mengatakan pengungkapan instalasi di Arak dan Natanz menimbulkan keprihatinan serius tentang keinginan nuklir Iran.

"Kami percaya keinginan sesungguhnya Iran ialah mengembangkan kemampuan untuk memproduksi bahan pembelah senjata nuklir," kata Bouchehr, "dengan menggunakan rute plutonium (yang akhirnya didukung oleh reaktor penelitian air-berat) dan rute uranium yang sangat diperkaya (yang didukung oleh instalasi pengayaan sentrifugal gas)."

Pengungkapan itu, ditambah dengan pengakuan berikutnya dari Iran bahwa negara tersebut telah menyembunyikan aspek programnya, membuat IAEA meningkatkan pemeriksaan.

Pertanyaan yang sering diajukan sekarang ialah "dapatkah laporan pengawas atom PBB tersebut dijadikan pembenaran untuk memulai perang melawan Iran"?

Banyak ahli keamanan menyatakan konsekuensi tindakan semacam itu dapat menimbulkan bencana.

Bahkan Menteri Pertahanan AS Leon Panetta, Kamis 10/11), memperingatkan tentang resiko serangan militer terhadap Iran, dan mengatakan itu dapat memiliki "dampak serius" terhadap wilayah tersebut, tanpa mampu menghentikan program nuklir Teheran.

Di Teheran, pemimpin spiritual Iran Ayatollah Ali Khamenei juga menyatakan Iran akan menyerang balik setiap serangan bahkan ancaman aksi militer sekalipun. Sebelumnya negara Yahudi memperingatkan dunia harus bertindak "guna mencegah Iran memperoleh senjata nuklir"

Seorang penulis L. Vincent Poupard menyatakan semua anggota PBB mesti segera bertindak dengan mengecam Israel, sebab negara Yahudi tersebut cuma membuat heboh dunia dan berusaha memperoleh dukungan internasional untuk menyerang Iran.

Kalau saja PBB bertindak sekarang juga, kata Poupard, untuk membungkam negara itu setidaknya untuk sementara, maka perang mungkin bisa dihindari.
(C003/Z002)

Oleh Chaidar Abdullah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011