Jakarta (ANTARA) - Episode ketiga dalam seri monolog "Di Tepi Sejarah" musim kedua menghadirkan perjalanan hidup seorang penyanyi bernama Soedjarwoto Soemarsono atau populer dengan nama Gombloh.

Pementasan berjudul "Panggil Aku Gombloh" ini ditampilkan dengan penonton terbatas di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (27/4) dan Kamis (28/4) oleh Titimangsa dan KawanKawan Media bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kemendikbudristek.

Baca juga: Lagu Kebyar-Kebyar Gombloh bergema di Tiongkok

"Panggil Aku Gombloh" disutradarai oleh Joind Bayuwinanda dan diperankan oleh seniman pantomim Wanggi Hoediyatno atau lebih dikenal dengan Wanggi Hoed.

Produser "Panggil Aku Gombloh" Pradetya Novitri mengatakan pentas "Di Tepi Sejarah" memiliki visi uKesenian Jakarta, Rabu (27/4) dan Kamis (28/4) oleh Titimangsa dan KawanKawan Media bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kemendikbudristek.
ntuk memperkenalkan tokoh-tokoh yang berada di tepian atau luar pusaran sejarah Indonesia.

"(Tokohnya) termasuk Gombloh ini. Mungkin banyak yang sudah tahu siapa Gombloh dan lagu-lagunya, tapi kisah hidupnya belum tentu banyak yang tahu," kata Pradetya saat dijumpai wartawan di Jakarta, Rabu (27/4) malam.

Gombloh dikenal sebagai musisi era '70 hingga '80-an yang tampil sederhana dan jauh dari kesan glamor. Nama Gombloh melambung setelah ia menciptakan lagu "Kebyar-Kebyar".

Ia lahir di Jombang pada 12 Juli 1948 dan wafat di Surabaya pada 9 Januari 1988. Ketika dimakamkan di TPU Tembok Gede, masyarakat Surabaya memenuhi ruas-ruas jalan hingga menyebabkan kemacetan sepanjang lima kilometer dari kompleks pemakaman.

Baca juga: Sandiaga berharap lahir legenda baru seperti Gombloh

Selain kisah hidup personal Gombloh, Produser Yulia Evina Bhara menambahkan pihaknya juga ingin memperkenalkan karya-karya Gomboh yang berisi pesan tentang orang-orang kecil dalam kehidupan sosial, nasionalisme atau kecintaan pada Indonesia, serta idealisme Gombloh baik dalam bermusik maupun keinginan mewujudkan dunia tanpa prostitusi.

"Kami rasa (pementasan) ini sangat kontekstual dengan hal-hal yang sedang terjadi hari ini. Ada banyak hal yang bisa kita petik dari tokoh seperti Gombloh," tutur Yulia.

Mengenai dunia tanpa prostitusi, Joind memandang cita-cita tersebut tampak absurd tetapi Gombloh tetap mencoba walau akhirnya hanya berhasil menghilangkan prostitusi sekitar 5 persen dari 100 persen.

Menurut Joind, uang yang dihasilkan Gombloh dari melakukan konser banyak digunakan untuk membantu keuangan pelacur di Surabaya. Tindakan tersebut sangat mengharukan dan menyentuh, katanya.

"Kita jarang sekali, lho, ketemu musisi yang punya pengorbanan seperti itu, dengan jelas mengatakan bahwa cita-citanya ingin membuat prostitusi itu nggak ada," ujar Joind.

Sementara itu sebagai seniman pantomim, Wanggi mengaku "Panggil Aku Gombloh" menjadi pementasan teater pertamanya untuk kembali mengeluarkan vokal sejak sekitar lima belas tahun terakhir. Oleh sebab itu, olah vokal menjadi salah satu tantangan yang ia hadapi selama berlatih.

Dalam memerankan sosok Gombloh, tantangan lain yang dihadapi Wanggi termasuk menyelaraskan visi sutradara dan asisten sutradara agar menciptakan adegan yang mumpuni. Ia mengatakan dirinya mencoba untuk merawat ingatan mengenai sosok Gombloh mulai dari latar belakang hidup hingga pemikirannya.

"Untuk hari ini, justru pada akhirnya kita semua seperti merawat karya-karyanya (seperti) yang tadi kita dengarkan. Ide-idenya, pemikirannya," tutur Wanggi.

Dua pertunjukan "Di Tepi Sejarah" sebelumnya, yaitu "Kacamata Sjafruddin" tampil pada 14-15 April dan "Mata Kamera" pada 20-21 April di tempat yang sama.

Selain itu, "Di Tepi Sejarah" juga akan mementaskan tokoh perupa perempuan Emiria Soenassa pada Juni dan pemusik Ismail Marzuki pada Juli. Seluruh lakon "Di Tepi Sejarah" musim kedua nantinya akan ditayangkan secara daring pada Agustus mendatang di kanal Indonesiana TV.



Baca juga: Arkarna rilis single "Kebyar-Kebyar"

Baca juga: 15 seniman dukung "Tribute to Gombloh"

Baca juga: Seniman Jawa Timur ziarah ke makam Gombloh

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022