Jakarta (ANTARA) - Perusahaan di seluruh dunia perlu meningkatkan upaya pengelolaan keamanan siber mereka untuk mengurangi risiko ancaman kejahatan siber karena digitalisasi dan budaya kerja jarak jauh/hybrid akan tetap ada.

Hal tersebut disebutkan dalam survei "The 2021 Future of Cyber oleh Deloitte", dikutip dari keterangan pers Organisasi global profesi Akuntan The Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW), Kamis.

Isu penguatan mitigasi kejahatan siber juga menjadi topik pembahasan dalam Indonesia Business 20 (B20).

Isu ini akan dibawa dan dijawab dalam diskusi B20 Integrity and Compliance Task Force, yang bertujuan untuk mencari rekomendasi kebijakan yang dapat ditindaklanjuti untuk mengatasi tantangan bisnis, termasuk dampak buruk dari kejahatan siber.

"Kami percaya diskusi kami dalam Integrity and Compliance Task Force sangatlah kritikal untuk mengatasi tantangan ini," kata ICAEW Regional Director China and South-East Asia, Elaine Hong.

Meningkatnya kebutuhan akan keamanan siber menyoroti pentingnya peran akuntan dalam beberapa tahun terakhir. Dengan memitigasi risiko siber, akuntan memainkan peranannya dalam membantu organisasi mendeteksi dan mengevaluasi risiko siber serta meninjau keamanan dan kepatuhan siber perusahaan untuk mencegah potensi ancaman dan serangan dunia maya terhadap organisasi.

Sebagai organisasi profesi akuntan, ICAEW bekerja untuk mendukung kantor jasa akuntan yang ingin meningkatkan keamanan siber dan membantu klien meningkatkan keamanan siber mereka.

"Kami senang bisa berpartisipasi sebagai anggota B20 Integrity and Compliance Task Force dan saya yakin bahwa diskusi kami dengan para pemimpin industri akan menghasilkan rekomendasi yang positif dan dapat ditindaklanjuti untuk pertemuan G20," kata Mark Billington, ICAEW Managing Director International.

Ancaman kejahatan siber telah merugikan perusahaan yang terkena dampak di tengah percepatan transformasi digital yang dilakukan selama pandemi.

Menurut survei Deloitte, 69 persen pemimpin global dalam penelitian tersebut mengatakan akan ada peningkatan serangan siber yang signifikan di perusahaan mereka pada tahun 2021.

Sementara itu, 72 persen responden survei juga mengatakan bahwa organisasi mereka telah mengalami setidaknya 1 dari 10 insiden pelanggaran serangan siber sepanjang tahun 2020.

Ancaman siber juga berdampak pada perusahaan dalam banyak hal, mulai dari hilangnya pendapatan, denda peraturan, hilangnya reputasi, gangguan operasional, hingga kehilangan pelanggan.

Oleh karena itu, dalam forum B20, Integrity and Compliance Task Force akan mencari solusi untuk mengatasi ancaman siber. Ada total 104 institusi dari 28 negara dan 18 industri dalam gugus tugas tersebut.

Selain memitigasi meningkatnya risiko kejahatan siber, masalah lain yang perlu ditangani adalah bagaimana mendorong kesiapan penanggulangan pencucian uang/pendanaan teroris, adaptasi inklusif sektor publik dan swasta dalam mengurangi risiko integritas bisnis, dan mempromosikan tata kelola yang berkelanjutan dalam bisnis untuk mendukung inisiatif ESG.

Penguatan dalam hal integritas dan kepatuhan sangat penting bagi bisnis untuk berkembang di era pasca pandemi. Kedua karakteristik ini sangat penting untuk kesuksesan bisnis, karena membantu memastikan terciptanya perilaku bisnis yang etis dan mencegah bisnis terlibat dalam praktik yang tidak etis.

Baca juga: Mahasiswa FEB UI raih dua gelar pada ajang ICAEW 2022

Baca juga: Riset: Inovasi teknologi dorong ekonomi hijau dan berkelanjutan

Baca juga: Mahasiswa Untar raih gelar juara di ajang ICAEW SEA 100

Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022