Yogyakarta (ANTARA News) - Film dokumenter dan berbagai bentuk film indie menjadi wadah aktualisasi ide dan kreasi para pemuda yang unik dan menantang, kata Wakil Ketua Muhammadiyah Multimedia Kine Club Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Norman Perdana Lubis.

"Pembuatan film-film seperti itu membutuhkan proses yang lama dengan ide-ide yang kritis tentang sudut-sudut kehidupan," katanya di sela-sela pemutaran film "Tales from Jakarta", di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis.

Menurut dia, upaya sosialisasi film-film dokumenter pendek seperti itu melalui pemutaran film perlu diapresiasi. "Upaya itu harus terus digalakkan, apalagi saat ini bermunculan komunitas-komunitas yang mengapresiasi film-film seperti itu," katanya.

Koordinator pemutaran film, Franciscus Apriawan mengatakan, "Tales from Jakarta" (2008) adalah kumpulan lima film dokumenter yang digarap lima sutradara berbeda yang semuanya menilik kehidupan masyarakat Indonesia pascareformasi.

"Dalam `Tales from Jakarta` digambarkan bagaimana masyarakat Indonesia, terutama Jakarta, yang hingga kini masih dibayangi kemiskinan, pengangguran, dan berbagai masalah ketidakadilan termasuk masalah perbedaan etnis," katanya.

Menurut dia, "Tales from Jakarta" terdiri atas film "Bot Parabot" yang disutradarai Jastis Arimba, "Babi Apa Ayam?" (Sakti Parantean), "Irama Hati" (Steve Pillar S), "Makan Siang di Hari Jumat" (Ariani Djalal), dan "Musafir" (BW Putra Negara).

Salah satu film yang diputar "Musafir", menceritakan dua orang pemulung, Kamal dan Ida yang setiap hari mengumpulkan sampah-sampah yang dibuang orang-orang kaya di Jakarta dengan bermodalkan gerobak yang rodanya rusak dan sebuah tongkat.

Mereka digambarkan sebagai rakyat miskin yang dalam kesehariannya hanya bergelut demi perut, sehingga tidak menghirauka fenomena yang terjadi di sekitar mereka. Bahkan di akhir cerita, diperlihatkan bagaimana mereka juga sangat sulit mengingat nama gubernur mereka sendiri, Fauzi Bowo saat berbincang di pintu masjid.

Ia mengatakan, pemutaran film seperti itu memang dilakukan sebagai upaya pemberian ruang apresiasi dan sosialiasi terhadap bentuk film dokumenter yang semakin berkembang dengan berbagai macam gaya.

"`Tales of Jakarta` misalnya, sangat sedikit adegan-adegan yang ditampilkan dengan wawancara dan narasi. Film Dokumenter tidak harus banyak dialog dan narasi, karena adegan subjek yang natural juga dapat menyampaikan maksud," kata Franciscus.

(L.B015*H010/M008)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011