Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diminta segera membuat kebijakan "one-stop service" terkait perizinan investasi, khususnya di kawasan industri, untuk mengejar ketertinggalan di sektor tersebut dari negara lain, seperti Thailand. "Di tahun 1990-an, Indonesia sebenarnya menjadi kompetitor untuk Thailand di sektor industri dan secara fisik, kawasan industri kita tidak kalah. Namun Pemerintah Thailand mempunyai `political will` yang kuat terhadap pengembangan industrinya yang membuat kita tertinggal," kata Direktur Eksekutif Himpunan Kawasan Industri (HKI), Fahmi Shahab di Jakarta, Jumat. Ia menambahkan pada saat itu Thailand memiliki Industrian Estate Authority of Thailand (IEAT) yang dipimpin seorang Gubernur dan bertanggungjawab langsung kepada Perdana Menteri. "Semua perencanaan kebijakan tentang kawasan industri ada di kantor itu, khususnya investasi industri manufaktur. Misalnya, kalau saya jadi investor industri, akan langsung diarahkan di mana tempatnya, kebutuhan tenaga kerja, dan persyaratan izin yang sangat transparan," kata Fahmi. Menurutnya, waktu dan biaya investor untuk berinvestasi menjadi lebih optimal dan mereka mendapat layanan profesional, sehingga wajar perkembangan industri di Thailand "meninggalkan" Indonesia cukup jauh. "Indonesia dapat menyaingi Thailand kalau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) difungsikan secara optimal dan sifatnya `one stop service`," katanya. Lanjutnya, dulu pemerintah pernah disarankan untuk membentuk Otorita Kawasan Industri Nasional (OKIN) yang fungsinya seperti IEAT, namun tidak mendapat respon. Padahal, ujarnya, saat ini persaingan di tingkat global untuk mencari investor sebanyak-banyaknya amat ketat. Ia juga mencontohkan China yang berani memotong simpul penghambat investasi dan sejumlah negara lainnya. "Vietnam sekarang sudah hampir menyaingi kita. Untuk itu, pemerintah harus segera turun tangan memperbaiki daya saing investasi," kata Fahmi. Indonesia membutuhkan investasi yang besar untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak guna mengurangi pengangguran. "Kalau kita tidak punya daya saing, kita tidak akan mendapatkan investor baru. Bahkan, investor yang sudah ada banyak yang hengkang," ujarnya. Di Batamindo, sebuah kawasan industri di Batam, terjadi penurunan jumlah tenaga kerja dari 85 ribu orang menjadi 60 ribu orang. Hal ini disebabkan investor hengkang dan memilih negara lain, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand, padahal harga tanah serta buruh di negara-negara tersebut mahal. "Mereka mengaku biaya mahal tidak masalah, karena masih bisa dihitung. Tapi kalau di Indonesia, banyak ketidakpastian yang sulit dihitung, seperti upah tenaga kerja, regulasi maupun situasi politik," kata Fahmi lagi. Persoalan non-ekonomi Ia juga mengingatkan banyaknya persoalan ekonomi yang harus diselesaikan secara non ekonomi, salah satunya terkait dengan otonomi daerah. Menurut Fahmi, pemberian otonomi daerah bukan berarti daerah dapat bertindak semau-maunya,termasuk terhadap investasi di daerah dimaksud, misalnya dengan restribusi yang berlebihan. "Perlu keseragaman antara pusat dan daerah. Izin investasi bisa dari BKPM, namun di daerah juga ada instansi yang sejenis dengan keseragaman aturan yang berlaku secara nasional. Jadi, investor tidak bingung disebabkan aturan tiap daerah yang berbeda-beda," ujarnya. Ia menyarankan agar Pemerintah Pusat dan daerah duduk satu meja untuk menyepakati bahwa yang dilakukan demi kepentingan seluruh bangsa. Sedangkan tiap departemen terkait dengan rencana bidang investasi dapat mengirimkan pegawainya untuk bekerja di satu atap. Indonesia, ia menambahkan, memiliki peluang dari rencana relokasi sejumlah industri ke negara ini, namun realisasinya tergantung kebijakan Pemerintah di sektor investasi. Selain kebijakan, ia menilai Indonesia perlu pembenahan besar-besaran di sektor infrastruktur karena menyebabkan ekonomi biaya tinggi. "Kemacetan membuat biaya transportasi meningkat, sementara industri ingin produk mereka cepat disalurkan ke pasar. Ini diperparah kalau barang yang akan dikirim masih harus menunggu beberapa waktu di pelabuhan," katanya. Berdasarkan data yang diperoleh ANTARA, pemerintah telah mengeluarkan persetujuan prinsip untuk 203 kawasan industri dengan luas 67 ribu hektar, namun yang beroperasi hanya 64 kawasan industri dengan luas 20 ribu hektar. Dari jumlah kawasan industri yang beroperasi itu, hanya sekitar 44 persen yang dimanfaatkan oleh sekitar 60 ribu industri. Sementara berdasarkan data dari IFC, proses perizinan di Indonesia mencapai 150 hari. (*)

Copyright © ANTARA 2006