Jakarta (ANTARA) - Tak dipungkiri, sejak dicetuskan pada 1 Juni 1945 Pancasila telah berperan penting dalam membentuk fondasi negara bangsa Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara perlahan tapi pasti berhasil menyatukan 1.340 suku bangsa dalam satu bangsa Indonesia dan 718 bahasa daerah dalam satu bahasa Indonesia. Tanpa mengesampingkan tantangan yang ada, jiwa nasionalisme telah terbangun dalam setiap kader anak bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Hal inilah yang menarik para sarjana dari Eropa untuk mempelajari dan meneliti Pancasila sebagai ideologi bangsa. Thomas Mayer (2017) peneliti asal Jerman menyebut Pancasila sebagai ideologi terbaik saat ini. Mayer mengidentifikasi ideologi Pancasila sebagai halnya demokrasi sosial. Ideologi yang mampu bertahan dan lebih baik dalam menghadapi krisis ketimbang ideologi neoliberalisme maupun fundamentalisme agama.

Keberhasilan Pancasila sebagai ideologi bangsa pada akhirnya akan terus diuji relevansi-nya di tengah perkembangan zaman. Di era digital ini, nilai-nilai Pancasila yang tertuang dalam lima sila, kembali diuji dengan berbagai tantangan. Era yang ditandai dengan kecanggihan Teknologi Informasi dan Komunikasi, internet, Big Data, media baru -termasuk media sosial, dan berkembangnya artificial intelligence atau kecerdasan buatan memberi tantangan baru untuk membumikan nilai-nilai Pancasila.

Google, Twitter, Facebook, YouTube, TikTok hingga Instagram memungkinkan partisipasi yang lebih luas dalam segala macam wacana. Bahkan di rezim otoriter atau semi-otoriter di mana ada sensor internet, media sosial dapat menyediakan saluran baru untuk ekspresi politik, pemunculan identitas, dan pembangunan komunitas. Wacana-wacana media sosial tak sekadar pertukaran informasi, melainkan pertukaran ideologi dan budaya dari seluruh dunia.

Isu-isu global, seperti perubahan iklim begitu cepat menyebar hingga pelosok negeri melalui media sosial. Demikian dengan isu-isu ideologi global seperti LGBT dan radikalisme mewarnai isi kepala sebagian warga negara. Semua saling berebut pengaruh, merekrut, dan menuntut aksi. Ada yang berhasil. Ada pula yang gagal.

Dengan cepat, perkembangan ini berpengaruh terhadap nasionalisme warga negara. Para ilmuwan sosial memperkirakan perkembangan TIK akan mencerabut akar nasionalisme warga negara menuju kosmopolitanisme. Semua penduduk adalah warga global. Dengan demikian multikulturalisme global terjadi di dunia maya. Ini adalah tantangan yang nyata.

Tanpa antisipasi seluruh pihak, secara perlahan media sosial mampu mengikis nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Riset Microsoft pada 2021 menunjukkan bahwa warga internet (warganet) Indonesia menduduki peringkat 29 dari 32 dalam hal sopan santun di media sosial. Sopan santun adalah cerminan dari nilai Pancasila.

Memupuk Nasionalisme Digital
Media digital meningkatkan intensitas dan kecepatan hubungan antara budaya dan politik. Cara baru ini menarik orang-orang di seluruh dunia dalam pembentukan komunitas dan penguatan identitas, baik dari elite ke rakyat maupun dari bawah ke atas, baik di dalam negara maupun lintas negara.

Dalam satu studi Timothy Snyder (2018) menemukan kenyataan bahwa ternyata koneksi digital cenderung memperkuat imajinasi nasional. Dahulu, satu bangsa dipersatukan melalui monumen. Sekarang dipersatukan melalui meme dari berbagai sumber, dalam jumlah besar dan diproduksi dengan cepat. Setiap momentum dapat dikapitalisasi untuk membangun nasionalisme. Aktornya tidak harus negara, tapi semua warga negara. Nasionalisme menjadi lebih menarik dan menghibur di era digital.

Ekspresi nasionalisme kini terjadi di ruang digital. Ketika seseorang memilih simbol atau berita mana yang akan dibagikan, dikomentari, atau di-like akan selalu ada hal baru untuk didiskusikan dengan rekan senegara atau se-suku setiap hari ruang digital. Oleh karena itu, Ruang digital menjadi krusial bagi imajinasi nasional.

Dengan demikian, ruang digital adalah ruang baru yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan nasionalisme dan membumikan kembali nilai-nilai Pancasila di Bumi Pertiwi ini. Dalam konteks itu, yang dibutuhkan oleh rakyat tak lain adalah keteladanan dan literasi digital.

Keteladanan digital secara konkrit telah dimulai oleh para aktor non-negara. Memulai dari pembuat konten (content creator) di media sosial yang memiliki pengaruh dapat dijadikan langkah awal. Mereka adalah inisiator dan inovator nasionalisme. Promosi nilai-nilai Pancasila ditanamkan dari mereka seperti sopan santun, saling menghormati dan menghargai perbedaan di antara anak bangsa.

Kita dapat saksikan ratusan meme, video, dan video musik karya anak bangsa yang dapat menggugah nasionalisme dan mengandung nilai-nilai pancasila. Cara baru pembuat konten tak pernah terpikirkan sebelumnya. Nah, aktor negara cukup memberikan dukungannya dalam berbagai bentuk fasilitas dan serangkaian kebijakan. Pilihan ini lebih baik ketimbang menggunakan pendengung (buzzer) yang kebanyakan bersembunyi. Ketauladanan haruslah nyata.

Sementara itu, pada 2021, Indonesia menduduki peringkat 53 dari 64 negara dalam World Digital Competitiveness (2021). Kalah jauh dari Thailand (peringkat 38) Malaysia (peringkat 27) dan Singapura (peringkat 5). Seolah hasil survei mengkonfirmasi temuan riset Microsoft di atas. Ruang digital tidak hanya keahlian dalam menggunakan internet, tetapi juga ada etika digital dan keamanan digital.

Literasi digital adalah tugas seluruh elemen. Tapi aktor negara paling memiliki tanggung jawab dalam hal ini. Literasi digital hanya bisa dilakukan sejak usia dini pada lembaga-lembaga pendidikan. Literasi digital dan digital native -generasi kita saat ini- bagai dua sisi mata uang. Adalah hak setiap warga negara untuk memperoleh akses dan pemaknaan terhadap ideologi bangsanya, yaitu Pancasila.

*) Ngasiman Djoyonegoro, Pengamat Intelijen, Pertahanan dan Keamanan

Copyright © ANTARA 2022