Jakarta (ANTARA News) - Kemilau kembang api di cakrawala segenap penjuru kota Nusantara dan gelegar petasan pada jam 00 kala terjadi pergantian tahun menjadi 2012, seolah mengenyahkan sejenak himpitan beban sebagian kalangan masyarakat dari rutinitas realita kemarjinalan hidup.

Kaum profesional, pegawai pemerintah, para penganggur, tua-muda, pejabat-bawahan, menanggalkan atribut status sosialnya untuk berbaur di pusat keramaian menyongsong datangnya tahun 2012.

Mereka bersuka cita hingga larut malam dan meneriakan resolusinya masing-masing dan menghempas kelirihan hidup dengan segenggam harap untuk hidup yang lebih baik dan bermakna.

Momen euphoria yang muncul di setiap pergantian tahun tersebut, bagaikan menjumpai sumber air (oasis) di tengah gurun, yang tandus akan ide dan karsa. Masyarakat yang terkadang kehilangan asa tertekan bandul kehidupan yang kiranya kian hari kian berat, menemukan media hiburan gratis dan berhimpun bersama.

Paling tidak, mungkin ada tiga ikhwal yang boleh dijadikan sebagai pemantiknya. Pertama, senyapnya panggung yang bisa menghimpun kolektivitas tanpa sekat.  Sekat sosial dan sekat politik belakangan ini lebih menonjol ketimbang rumpun kebersamaan.

Kedua, masyarakat kiranya sedang menderita kejemuan sosial yang ditunjukkan oleh semakin rapuhnya ikatan kebangsaan. Gesekan-gesekan sosial akibat ketidakpuasan pada pilkada, konflik antara masyarakat dengan korporasi usaha, isu-isu primordial yang tak bermutu menghiasi banyak ruang publik, hukum yang tumpul keatas dan tajam kebawah kerap menjadi tontonan dan headline pewartaan media massa. Momen tahun baru berperan sebagai exit sesaat terhadap kebosanan yang mengepung beranda realitas kehidupan tersebut.

Ketiga, energi positif masyarakat yang selalu  masih tinggi dalam merangkai cita, mengantung harap, dan menyandarkan hasrat untuk merealisasikan sebuah mimpi kolektif akan kondisi hidup yang lebih baik melalui lantangnya resolusi.


Pemuda pembaharu

Kita sering menyaksikan segelintir kawula muda menoreh prestasi gemilang dalam olimpiade sain di tataran internasional. Belakangan marak "boy and girls band" di jagat hiburan. Ini menyiratkan bahwa gejolak mudalah yang bergelora menapaki tangga dan membuncahkan asa serta berani bermimpi dan berani mengambil peran nyata sebagai pembaharu untuk melakukan perubahan secara revolusioner.

Tengoklah sekilas sejarah bangsa ini. Tahun 1928, kaum muda sudah meneriakan pekik persatuan via sumpah pemuda dan berdiri di garda terdepan.  Pemuda lah yang memainkan peran sentral dan memotori pergerakan transisi kebangsaan.

Berbahasa satu, berbangsa satu, dan bertanah air satu mengilustrasikan makna berhimpun dan resistensi total untuk memberangus belenggu penjajahan.  Sejatinya spirit Sumpah Pemuda pada era milennium ini merapatkan barisan motivasi untuk memadu karya, merangkai kreasi, dan mengukir inovasi demi mengejar ketertinggalan dalam segala lini kehidupan.

Betapa Soekarno-Hatta masih enggan mendeklarasikan kemerdekaannya karena merasa belum siap. Tapi berbeda sekali dengan semangat generasi muda kala itu yang dengan tegas dan lugas menginginkan agar pekik merdeka harus segera dikumandangkan.

Kaum muda tersebut lalu "menculik" Soekarno-Hatta dan membawanya ke Rengas Dengklok dan mendesak kedua pendiri bangsa tersebut untuk mau memproklamirkan RI sesegera mungkin. Kita juga menyaksikan roda sejarah bagaimana para pemuda dengan nyaring dan gagah berani berdemontrasi tak kenal gentar menentang rejim orde baru pada tahun 1998, hingga akhirnya menumbangkannya.

Semenjak era kolonial, orde lama, orde baru, dan orde reformasi, kaum muda menjadi kunci yang berani membuka kotak pandora imperialisme dan otoritarianisme kekuasaan. Pemuda menjadi asset bangsa, pemuda menjadi agen perubahan, dan ditangan pemuda pulalah rancangan masa depan dipertaruhkan.  Tak salah kiranya kalau kita menitipkan harapan bangsa ini ke pundak kaum muda.

Tahun 2010, menurut UNHDR, nilai HDI (Human Development Index) Indonesia masih saja berkutat pada ranking bawah yakni  108 dari 169 negara. Dibandingkan dengan negara ASEAN, Indonesia di bawah Singapura (27), Brunei (37), Malaysia (57), Thailand (92), Filipina (97).  Di atas Vietnam (113), Laos  (122), Kamboja (124), Myanmar (132).

Kita yang lebih dulu merdeka dan tentunya lebih awal pula berkesempatan mengembangkan negerinya, dibandingkan dengan negeri jiran, seyogyanya mengungguli negeri tentangga tersebut ? Ini fakta yang harus kita patahkan.


Sepi prestasi

Generasi muda secara umum disinyalir lebih silau dan gemar berkutat dengan gejolak budaya pop (pop culture) yang seketika (instant) tanpa proses panjang, agak asing dari hiruk pikuk perpolitikan, kurang tertarik pada pengembangan sain dan teknologi. Juga diperparah dengan relatif minimnya apresiasi dan penghargaan terhadap kawula muda yang menggeluti dan berjuang dibidang sain dan teknologi.

Betapa negeri semaju Jerman saja risau, karena pertumbuhan populasi penduduk yang nol. Angkatan kerja pemuda menjadi penggerak roda perekonomian. Tatkala populasi pemuda tak tumbuh apalagi negatif, dikhawatirkan kinerja kegemilangan kemakmuran bangsa tak bisa lagi dipertahankan.

Oleh karena itu, Jerman mendorong pasutri (pasangan suami istri) untuk punya keturunan dengan iming-iming tunjangan bayi. Semakin banyak bayi yang dilahirkan, makin banyak pula insentif yang dikucurkan. Kaum muda tersebut kelak ditempa menjadi penopang kaum profesional bangsa Jerman, agar menjadi bangsa unggul. Ironis dengan negeri kita, membludaknya angkatan kerja justru menjadi beban.

Namun pekan-pekan belakangan ini, disela sepinya prestasi bangsa dan maraknya stigma negatif, menyeruak dan membuncah sebungkal harap, dengan mendemamnya kreasi mobil nasional karya anak-anak bangsa yang masih mengenyam bangku SMK.

Sudah selayaknya segenap komponen bangsa ini menyambut hadirnya karya tersebut dan mendukung pengembangan lebih lanjut.  Bukan skeptis dan mencemooh, dengan berceloteh paling-paling akan bernasib seperti pendahulunya.

Mari bergandengan tangan menyokong kreasi tersebut. Sebagai masyarakat, kita sebaiknya terus mengapresiasi dan mendukung. Sebagai pemerintah, seyogyanya memfasilitasi pengembangan agar produk tersebut menjadi layak secara teknis dan ekonomis.

Sebagai pebisnis, semestinya memandu bagaimana agar produk tersebut kompetetif dan tidak terlibas dengan mudah oleh produk serupa yang sudah mapan, dan membantu perintisan jejaring marketing.  Sebagai media massa, terus menggaungkan berita ini sebagai sebuah sensasi prestasi.

Sebagai penulis terus mengumandangkan spirit dengan gagasan segar, ide kreatif, dan analog kecemerlangan, agar prestasi gemilang ini bisa diteladani oleh sektor lain, supaya generasi muda menjadi terlecut darah mudanya untuk juga bisa berprestasi seperti teman sebaya mereka tersebut.

Masih banyak sektor lain yang membutuhkan revolusi pengembangan dan perhatian ekstra dari para kawula muda dengan semangat curiosity (keingintahuan) yang membumbung dan animo berprestasi yang melangit.

Umpamanya, sektor pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, yang berbasis sumberdaya alam hayati, dan sektor lainnya, kita perlu melecut inspirasi pemuda untuk juga memahat prestasi dalam bidang tersebut.  Paling tidak melalui kreasi atau inovasi di ruang laboratorium, bengkel, demplot, dan uji lapang.

Niscaya berkuncupnya tunas revolusi spirit pemuda ini, kelak akan bisa memupus paradoks negeri agraris dan paradoks negeri maritim, yang dibanjiri oleh produk pertanian dan perikanan dari negeri seberang ! Semoga.

*Penulis Buku "Senarai Bijak Terhadap Alam"

Oleh Hefni Effendi*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2012